Bertemu dengan orang baru, berkenalan, saling bertanya, berbagi cerita dan pengalaman pahit manisnya kehidupan. Pagi yang cukup indah, saya memasuki ruangan salah satu Universitas Swasta di Kota Malang. Ruangan dengan kursi yang sudah ditata dengan rapi, sound system dan layar LCD di depan para hadirin.
Saya duduk dibangku deret ketiga, ketika saya duduk seorang ibu yang usianya saya duga lebih dari setengah abad berjalan dengan tongkatnya dan duduk disebelah saya "Selamat Pagi" saya melempar 2 kata ditambahi dengan senyum yang memang tulus saya berikan untuknya.
"Anda penulis?" Tanya kepada saya
"Saya baru belajar menulis"
Kemudian dia memperkenalkan dirinya, seorang penulis yang 20 tahun tinggal di Negeri Hitler, menjadi seorang penyiar radio. Tidak berselang lama dari perkenalan kami dia memberitahukan alamat rumahnya. "Kapan-kapan kamu main kerumah saya ya"
Tidak pernah meninggalkan tanah jawa, bagi saya ajakan itu tidak lebih dari sekedar basa-basi. Tentu saja, saya tidak menanggapi ajakannya terlalu serius. Untuk apa, dia adalah seorang penulis senior yang karyanya sudah melalang buana. Sedangkan saya hanya seorang penulis blog yang pembacanya masih stag tiga digit yang berjejer.
Berhari-hari bayangan ibu itu tidak lagi ada dipikiran saya. Wajar, saya bertemu satu kali, meskipun saya menyimpan nomor ponselnya, saya tidak tertarik untuk menghubungi dia. Saya pikir, dia adalah seorang penulis senior yang pasti sibuk, sudah diusia senja dan pasti akan lama dan semacam tidak asik jika saya yang masih belum genap 22 tahun menghubungi seorang "nenek".
Malam ini, ponsel saya bergetar. Saya mendedikasikan ponsel saya sebagai ponsel paling diam, dengan ketahanan batre lebih dari 24 jam. Kalian pasti tahu kenapa, saya tidak suka menghabiskan waktu dengan ponsel yang akan merebut waktu saya dari novel, karya sastra dan tangan saya untuk merangkai kata. Saya hanya menyanding dan melihat notifikasi, kalau memang penting saya akan respon, bukan apatis atau cuek, saya menginginkan sebuah pertemuan intens bukan percakapan ponsel omong kosong.
Notifikasi dari seorang penulis senior yang sudah melalang buana dan menghasilkan tulisan sampai ke 28 negara, kemudian menikmati masa senjanya masih sama, menulis dan menulis. Saya membuka pesan yang berisi sebuah video, inspirasi. Bagi saya, itu bukan lagi sebuah video. Melainkan kerendahan hati yang ditunjukkan oleh seorang senior kepada seorang anak kemarin sore.
"Terimakasih videonya, saya terinspirasi dengan video itu" jawab saya singkat dan saya rasa sudah cukup sopan.
Kemudian, dia melanjutkan percakapannya "kamu main kerumah saya hari kamis jam 9 pagi ya, mari sarapan dirumah saya". Saya masih diambang mimpi, serasa kemarin saya benar-benar mengabaikan ajakan tersebut, rupanya dia serius ingin saya berkunjung kerumahnya. Saya tidak berpikir panjang dan kemudian mengiyakan ajakannya.
Kamis pagi, saya bergegas untuk segera bertemu dengan dia, alamat rumah yang sudah ada dibuku saya, dekat dengan lokasi kuliah saya, tidak susah untuk menemukan rumah orang asing itu. perasaan tenang, saya merasa bertemu dan berkunjung kerumah orang asing untuk yang pertamakalinya bukan masalah untuk pagi ini.
Saya berhenti didepan rumah pagar hitam, banyak tanaman hijau didepannya. Nampak dari depan rumah itu bangunan kuno, tidak banyak orang didalamnya, kucing-kucing antri meminta jatah sarapan. Tidak sampai memencet bel rumahnya, si mbak yang tinggal menemani dia sudah keluar dan membukakan pintu untuk saya. Maknanya, kedatangan saya memang sudah ditunggu.
"Pakai saja sepatunya, tidak perlu dilepas" kata mbak sambil menyiapkan kue kue. Pagi itu saya kagum dengan banyak kue, teh yang sudah tersedia dan masih hangat. 2 piring lengkap dengan sendok dan garpu.
Bagi saya ini sudah bukan kue yang biasa lagi, meskipun kue itu salah satu kue favorite saya. Pagi ini teh dan kue dimeja makan orang asing ini terasa lebih enak. Bukan hanya kue, tetapi juga kesungguhan orang asing yang mengundang saya dan sudah menyiapkan hidangan semacam ini. Obrolan kami seputar saya berkuliah dimana, dia menceritakan suaminya yang menyukai batu.
Kemudian saya diijinkan masuk keruang kerjanya. Menakjubkan. Diusia yang sudah senja nanti, saya bercita-cita untuk menikmati hidup, jalan-jalan keluar negeri dan menikmati waktu dikebun bunga. Tetapi dia menikmati waktu diruang kerja yang menakjubkan. 3 sisi tembok dipenuhi rak buku setinggi 3 meter, penuh dengan berbagai buku dengan bahasa yang berbeda-beda. "ini ruang kerja saya, saya suka membaca dan disini saya menemukan banyak inspirasi"
"kamu suka baca novel?" dia mengagetkan saya yang masih kagum dengan ruang kerjanya.
"oh, saya suka. saya sedang membaca novel karya Tere Liye. Judulnya harga sebuah percaya"
"saya punya banyak novel, kalau kamu mau boleh baca"
Saya masih tersenyum tidak percaya dengan orang asing ini.
Kami keluar dari ruang kerja yang keren, duduk kembali dengan teh hangat yang ada di meja. Dia melanjutkan ceritanya tentang perjalanannya ke 28 negara lainnya. Australia, Amerika, Mesir, Iran dan lain. Saya tidak bisa mengingat dengan detil negara mana saja yang dia berhasil kunjungi. "Disetiap negara yang saya kunjungi, saya membeli sendok teh, karena saya suka minum teh, mari lihat koleksi saya".
Saya masih tidak tahu kenapa ada saja orang-orang yang suka mengoleksi barang. Mungkin saya adalah tipe manusia yang melihat sebuah barang berdasarkan nilai gunanya. Sehingga gantungan-gantungan sendok membuat saya nggumun.
Berjalan dilorong rumahnya yang tertata apik, saya melihat koleksi batu. Sekali lagi saya masih nggumun, untuk apa batu disimpan ditempat semahal ini.
"Almarhum suami saya suka dengan batu, kalau dia bercerita tentang batu, dia bisa lupa waktu". Dia mengambil buku dirak lain. Katanya buku disana adalah hasil karya suaminya. Ini hasil karya suami saya. Ensiklopedia tentang batu. What Amazing.
Fika, kamu tahu kenapa batu disukai oleh suami saya?
Kenapa? saya masih heran.
Suami saya pernah bercerita, ada batu yang dihasilkan dari angin, ada yang dihasilkan dari air, ada batu yang dihasilkan dari pasir. Pada akhirnya batu akan mengeras, kuat. Ada yang berbentuk sangat indah ada yang buruk. Pada akhirnya batu akan menjadi semakin keras. Bahkan, tanah tidak bisa menjadi keras jika tidak ada unsur batu. Pondasi rumah tidak akan kuat jika tidak ada batu.
Saya yakin, ada sesuatu lain yang ingin dia sampaikan kepada saya. Saya masih duduk menatap mata perempuan asing diusianya yang senja.
Itulah kehidupan. Seperti batu. Batu terbentuk dari apapun, berproses lama, bertemu dengan panas, dingin, diinjak, kadang dilempar, tapi dia kuat.
Jika mengamati, memang ya, beberapa batu memang sangat indah dan dengan proses yang sangat panjang.
Terimakasih. Orang asing.
"Fika, main kesini lagi ya"
"Iya kapan-kapan"
"Kamu kesini tidak perlu kapan-kapan, kapanpun mau main kamu main saja, lain kali kita makan siang disini ya, saya sangat senang berjumpa dengan kamu, saya akan menemani kamu berproses menjadi penulis, kamu tetap semangat ya"
"Iya, terimakasih"
"Saya berikan ini buat kamu"
2 buku yang adalah karyanya, isinya bagus, tatanan bahasa yang keren. Saya masih mengagumi keajaiban semesta mempertemukan saya dengan orang asini ini.
Saya akan menuliskan kisah makan siang saya bersama orang asing :)