Minggu, 26 Maret 2017

Pengawas Ujian dan Lain-lain

Sesuai dengan judulnya, kali ini saya akan bercerita tentang menjadi seorang pengawas ujian tengah semester untuk yang pertama kalinya ditingkat SMP. Kalau mengawasi tingkat ujian saja ini bukan pengalaman yang pertama, berhubung ini ditingkat SMP jadi ini adalah pengalaman saya yang pertama.

Semester lalu, saya masih menjabat sebagai asisten dosen. Jadi saya masih membantu dosen saya untuk mengawasi mahasiswa yang sedang ujian. Tenang, aman dan damai. Sangat berbeda ketika saya harus menjaga ujian untuk anak SMP.

Ketika dikampus, mahasiswa yang sudah selesai diperbolehkan untuk segera meninggalkan ruang. Entah setelah itu mau makan atau mau tidur atau mau pulang juga terserah. Sedangkan ditingkat SMP, semua siswa harus ada diruang kelas selama 2 jam. Bahkan ketika mereka sudah selesai dengan soal yang diberikan harus menunggu dikelas, kalau bisa menunggu dengan tenang kalau nggak bisa akhirnya rame dan saya cuma bisa geleng-geleng kepala seperti ketika saya mendengarkan lagu favorite saya.

Saya tidak akan memaksa untuk diam bak robot atau patung dikelas. Saya hanya diam dan kalau rame saya deketin sambil diam saja dan dari itu saya bisa melihat siapa saja yang mempunyai kecerdasan emosional yang baik :)
Ada 3 siswa
Surya, Leni dan Titus
Versi saya mereka adalah siswa yang bisa membaca apa yang sedang saya rasakan saat itu, yang lainnya lewat.

Bukan masalah mereka harus diam seperti patung, bukan masalah mereka harus memahami saya sebaik mungkin. Bagi saya cukup hanya satu orang yaitu dia "someone who i loved" yang memahami saya dengan baik. Udah satu orang saja yang memahami saya, yang lainnya lewat gpp :)
Hanya saya bertanya-tanya, kenapa mereka bisa bersikap seperti itu?
Bahkan sama sekali nggak punya rasa sungkan ketika saya diam dan memandangi mereka satu per satu. Saya pribadi belum pernah merasakan menjadi seorang orang tua dan pengalaman saya baru 3 bulan. Jadi saya membandingkannya dengan cara saya dulu dididik untuk mempunyai karakter yang baik.

Ketika menjaga ujian saya sempat mempunyai ide
bagaimana jika UTS seperti ini siswa dibiarkan saja tanpa pengawas? biarkan saja mereka mencontek, biarkan saja ngrepek dan biarkan saja mereka rame. Yang ditekankan bukan masalah mereka akan mendapatkan nilai berapa, tetapi bagaimana mereka bisa mengendalikan diri untuk tidak rame selama ujian, mengendalikan diri untuk tidak mencontek dan mempunyai kepercayaan diri yang baik untuk yakin dengan apa yang dia kerjakan sendiri. Tidak selalu bergantung dengan pekerjaan temannya. Ya tentu saja sebelum itu siswa harus diberikan pemikiran dulu tentang penguasaan diri. Entah itu dalam ibadah setiap minggu atau mungkin bisalah diadakan kegiatan untuk menanamkan pengendalian diri.
Opini saya pribadi (belum dilakukan penelitian), siswa jaman sekarang sudah bukan masanya untuk dikendalikan seperti siswa bertahun-tahun yang lalu. Yang perlu ditanamkan adalah bagaimana mereka bisa dengan baik menguasai dirinya sendiri dan sadar dengan apa yang sedang dia lakukan. Contohnya adalah bagaimana mereka bisa sadar dan paham kalau mereka membuat gaduh dikelas itu akan mengganggu teman yang lain, pemahaman itu yang menurut saya lebih penting dari pada memahami ratusan rumus matematika. Walaupun saya tidak menampik bahwa memahami matematika itu penting.

Saya sempat berkata kepada siswa
"Percayalah, kalau Bu Fika nggak akan memberikan nilai jelek jadi jangan pernah takut nilai jelek, jangan nyontek karena takut dengan nilai jelek"
Menurut saya nggak ada ruginya saya memberikan nilai bagus, saya lebih menghargai anak yang bisa mengerjakan 1 soal dari 5 soal dengan tepat waktu dan mandiri. Dibandingkan menyelesaikan kelima nya dengan waktu yang lebih cepat tanpa rasa percaya diri.
Saya nggak akan menakut-nakuti mereka atau mengancam mereka dengan nilai jelek. Saya lebih menekankan "ini hanya soal, kerjakan sendiri untuk mengukur kemampuan diri sendiri"
Satu impian saya ke anak-anak saya, sudahlah jangan takut masalah nilai, jangan takut bentuk soalnya dulu, saya paham kok kecerdasan anak-anak itu berbeda dan selama ini saya juga memperlakukan mereka berbeda. Itu juga yang membuat saya kuwalahan. Saya yakin kok, kalau mereka nggak punya rasa takut menghadapi soal dan ngggak takut dengan nilai serta punya pengendalian diri yang baik untuk mengerjakan soal, nilai itu mengikuti.

Sampai sekarang pun, saya nggak terlalu peduli dengan nilai. Bahkan IPK saya dikampus nggak saya pedulikan selama saya mempunyai pengendalian diri yang baik. Terbukti kalau nilai itu mengikuti, saya menikmati proses belajar sampai larut malam, menikmati bagaimana saya nungguin dosen untuk tanya materi yang saya nggak ngerti dan menikmati masa-masa saya sebagai adek kelas yang ngejar kakak kelas untuk tanya materi yang saya nggak ngerti, walaupun sebagian besar akan menjawab "aku wes lali". Berdasarkan pada pengalaman saya pribadi. Sehingga semangat itu yang ingin saya tularkan kepada anak-anak didik saya.

Ya, jadi apa yang bisa diambil dari pengalaman saya menjadi pengawas ujian tingkat SMP. Saya rindu anak-anak bukan menjadi anak yang harus dikendalikan secara ketat, saya rindu mereka bisa memahami apa yang sedang mereka kerjakan dan memahami apa dampaknya ke orang lain, saya rindu mereka bisa punya tanggung jawab untuk dirinya sendiri. Menghilangkan mind set "guru itu pokoknya harus bisa ngasih materi ini anak-anak bisa ngerti"
Bagaimana dengan hal yang lebih penting buat mereka?
Karakter?
Apakah sudah bisa mereka survive dikehidupan hanya dengan mengandalkan kecerdasan intelektual saja, tanpa kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual?

Mari kita belajar dari hari ke hari dengan melihat dan memperhatikan mereka satu per satu.

0 komentar:

Posting Komentar