Kamis, 30 Maret 2017

Cowok Murahan atau Cewek Gampangan?

Bacalah Tulisan ini hingga akhir!

2 hari lalu saya melakukan perjalanan panjang ke sebuah pantai di daerah Malang Selatan. Namanya Pantai Nganteb, mungkin pantai ini masih terdengar asing. Ya setidaknya bagi saya yang terakhir kali masa SMA ke Pantai Pasir Putih, itupun karena diajak oleh Kepala Sekolah saya jaman SMA.

Awal berangkat saya memilih untuk boncengan dengan salah satu rekan saya. Sebut saja Mas Adi, nama yang tidak sebenarnya (mungkin)

Sepanjang jalan berangkat dan pulang kami membicarakan banyak hal. Salah satu topik dari pembicaraan kami adalah tentang cowok dan cewek. Siapa yang lebih murahan dan lebih gampangan?

Awal statement saya memberikan kalimat
"Mas, nggak ada yang namanya cewek gampangan, yang ada itu cowok murahan"
Bukan karena saya cewek sehingga saya mengatakan nggak ada yang namanya cewek gampangan. Sebenernya yang ada itu adalah cowok murahan.

Mari kita bahas penjelasannya disini.
Sejak SMA sampai kuliah sebagian besar teman saya adalah cowok. Kenapa? Karena saya nggak terlalu suka berteman dengan cewek, ya cewek itu kebanyakan drama. Hampir semua cowok itu pernah menyatakan perasaannya ke seorang cewek untuk dijadikan kekasihnya.
Tetapi saya menemukan cewek yang tidak pernah menyatakan perasaannya ke cowok
(saya tidak termasuk didalamnya, ya karena saya 2 kali menyatakan perasaan saya "suka", bukan ingin menjadi kekasihnya).

Dari pengalaman saya itu, saya sedikit menyimpulkan. Jadi lebih banyak cowok yang mengungkapkan perasaan terlebih dahulu ketimbang cewek.
Yang setuju boleh angguk-angguk kepala.

Loh terus hubungannnya antara cowok murahan apa?
Jadi gini, kalau saya nih.
Saya nggak akan berpacaran atau menjalin hubungan dengan cowok sebelum si cowok itu menyatakan kalau dia ingin menjadi kekasih saya (based on true story).
Dan saya rasa sampai sekarang sebagian besar cewek akan bersikap seperti itu.
Ketika saya suatu saat nanti menjalin hubungan dengan seorang cowok, saya akan memastikan bahwa si cowoklah yang akan menyatakan terlebih dahulu kalau dia ingin menjadi kekasih yang baik buat saya.

Artinya cowoklah yang akan memulai terlebih dahulu pembicaraan ke arah menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih. Kalau ada cowok nih yang bilang
"halah cewek itu loh gampangan, ditembak temenku mau, ditembak aku ya mau"
Eits tunggu dulu, yang nembak duluan siapa? si cewek?
Bukan lah, si 2 cowok tadi kan?
Logisnya, 2 cowok itulah yang murahan. Kenapa? Ya karena bisa dengan mudahnya menyatakan sayang dan cinta pada cewek yang sama.

Beberapa waktu lalu saya juga mendengar cerita dari seorang teman
"halah aku loh gak tau ditolak cewek, setiap nembak mesti diterima"
Sejujurnya dalam hati saya ngakak
"jadi cowok murahan kok bangga?"
Saya masih nggak habis pikir, ya bagaimana bisa cowok menyatakan dengan gampangnya perasaan cinta dan sayang ke seorang cewek yang mungkin baru dikenal kurang lebih 3 bulan. Akhirnya yakin kalau si cewek ini adalah cinta sejatinya. Astagaaaaa.

Hai cowok, percayalah. Kalian akan mengenal keprobadian cewek itu sesungguhnya ketika kalian sudah melewati masa-masa ini bersamanya :
1. Bagaimana dia memperlakukan orang tuanya dirumah
2. Bagaimana dia memperlakukan saudara kandungnya dirumah
3. Kalian tahu bagaimana tampang dia bangun tidur
4. Dia akan tetap PeDe walaupun belum mandi dan kalian tetap nyaman dengan hal itu
5. Bagaimana dia memperlakukan teman-teman dekatnya
6. Bagaimana dia bisa mandiri tanpa kalian dan bisa menghargai bantuan dari kalian
7. Bagaimana dia menyikapi masalah
8. Tahu kapan dia marah dan kapan dia hanya bercanda
9. Bagaimana kehidupan rohaninya yang sebenarnya

Bukan yang hanya :
1. Posting foto cantik di sosmed dan banyak yang ngelike
2. Kemanapun pakai make up
3. Mau bantuin ngerjain pekerjaan kalian (ya ya lah namanya juga cewek, semuanya gitu kali)
4. Banyak temen hang out
5. Rajin mengingatkan ibadah

Sebenernya masih banyak yang bisa di list, tapi sudahlah nanti tulisan saya kepanjangan.

Mungkin bahasa saya agak berlebihan ya ketika saya bilang "cowok murahan". Saya tidak menemukan bahasa lain yang tepat untuk menjelaskan apa yang saya maksud.

Intinya para cowok. Jadilah cowok dengan nilai jual yang tinggi.
Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud merendahkan cowok, hanya menginspirasi saja. Supaya didunia ini semakin banyak cowok-cowok yang berkualitas :)

Minggu, 26 Maret 2017

Pengawas Ujian dan Lain-lain

Sesuai dengan judulnya, kali ini saya akan bercerita tentang menjadi seorang pengawas ujian tengah semester untuk yang pertama kalinya ditingkat SMP. Kalau mengawasi tingkat ujian saja ini bukan pengalaman yang pertama, berhubung ini ditingkat SMP jadi ini adalah pengalaman saya yang pertama.

Semester lalu, saya masih menjabat sebagai asisten dosen. Jadi saya masih membantu dosen saya untuk mengawasi mahasiswa yang sedang ujian. Tenang, aman dan damai. Sangat berbeda ketika saya harus menjaga ujian untuk anak SMP.

Ketika dikampus, mahasiswa yang sudah selesai diperbolehkan untuk segera meninggalkan ruang. Entah setelah itu mau makan atau mau tidur atau mau pulang juga terserah. Sedangkan ditingkat SMP, semua siswa harus ada diruang kelas selama 2 jam. Bahkan ketika mereka sudah selesai dengan soal yang diberikan harus menunggu dikelas, kalau bisa menunggu dengan tenang kalau nggak bisa akhirnya rame dan saya cuma bisa geleng-geleng kepala seperti ketika saya mendengarkan lagu favorite saya.

Saya tidak akan memaksa untuk diam bak robot atau patung dikelas. Saya hanya diam dan kalau rame saya deketin sambil diam saja dan dari itu saya bisa melihat siapa saja yang mempunyai kecerdasan emosional yang baik :)
Ada 3 siswa
Surya, Leni dan Titus
Versi saya mereka adalah siswa yang bisa membaca apa yang sedang saya rasakan saat itu, yang lainnya lewat.

Bukan masalah mereka harus diam seperti patung, bukan masalah mereka harus memahami saya sebaik mungkin. Bagi saya cukup hanya satu orang yaitu dia "someone who i loved" yang memahami saya dengan baik. Udah satu orang saja yang memahami saya, yang lainnya lewat gpp :)
Hanya saya bertanya-tanya, kenapa mereka bisa bersikap seperti itu?
Bahkan sama sekali nggak punya rasa sungkan ketika saya diam dan memandangi mereka satu per satu. Saya pribadi belum pernah merasakan menjadi seorang orang tua dan pengalaman saya baru 3 bulan. Jadi saya membandingkannya dengan cara saya dulu dididik untuk mempunyai karakter yang baik.

Ketika menjaga ujian saya sempat mempunyai ide
bagaimana jika UTS seperti ini siswa dibiarkan saja tanpa pengawas? biarkan saja mereka mencontek, biarkan saja ngrepek dan biarkan saja mereka rame. Yang ditekankan bukan masalah mereka akan mendapatkan nilai berapa, tetapi bagaimana mereka bisa mengendalikan diri untuk tidak rame selama ujian, mengendalikan diri untuk tidak mencontek dan mempunyai kepercayaan diri yang baik untuk yakin dengan apa yang dia kerjakan sendiri. Tidak selalu bergantung dengan pekerjaan temannya. Ya tentu saja sebelum itu siswa harus diberikan pemikiran dulu tentang penguasaan diri. Entah itu dalam ibadah setiap minggu atau mungkin bisalah diadakan kegiatan untuk menanamkan pengendalian diri.
Opini saya pribadi (belum dilakukan penelitian), siswa jaman sekarang sudah bukan masanya untuk dikendalikan seperti siswa bertahun-tahun yang lalu. Yang perlu ditanamkan adalah bagaimana mereka bisa dengan baik menguasai dirinya sendiri dan sadar dengan apa yang sedang dia lakukan. Contohnya adalah bagaimana mereka bisa sadar dan paham kalau mereka membuat gaduh dikelas itu akan mengganggu teman yang lain, pemahaman itu yang menurut saya lebih penting dari pada memahami ratusan rumus matematika. Walaupun saya tidak menampik bahwa memahami matematika itu penting.

Saya sempat berkata kepada siswa
"Percayalah, kalau Bu Fika nggak akan memberikan nilai jelek jadi jangan pernah takut nilai jelek, jangan nyontek karena takut dengan nilai jelek"
Menurut saya nggak ada ruginya saya memberikan nilai bagus, saya lebih menghargai anak yang bisa mengerjakan 1 soal dari 5 soal dengan tepat waktu dan mandiri. Dibandingkan menyelesaikan kelima nya dengan waktu yang lebih cepat tanpa rasa percaya diri.
Saya nggak akan menakut-nakuti mereka atau mengancam mereka dengan nilai jelek. Saya lebih menekankan "ini hanya soal, kerjakan sendiri untuk mengukur kemampuan diri sendiri"
Satu impian saya ke anak-anak saya, sudahlah jangan takut masalah nilai, jangan takut bentuk soalnya dulu, saya paham kok kecerdasan anak-anak itu berbeda dan selama ini saya juga memperlakukan mereka berbeda. Itu juga yang membuat saya kuwalahan. Saya yakin kok, kalau mereka nggak punya rasa takut menghadapi soal dan ngggak takut dengan nilai serta punya pengendalian diri yang baik untuk mengerjakan soal, nilai itu mengikuti.

Sampai sekarang pun, saya nggak terlalu peduli dengan nilai. Bahkan IPK saya dikampus nggak saya pedulikan selama saya mempunyai pengendalian diri yang baik. Terbukti kalau nilai itu mengikuti, saya menikmati proses belajar sampai larut malam, menikmati bagaimana saya nungguin dosen untuk tanya materi yang saya nggak ngerti dan menikmati masa-masa saya sebagai adek kelas yang ngejar kakak kelas untuk tanya materi yang saya nggak ngerti, walaupun sebagian besar akan menjawab "aku wes lali". Berdasarkan pada pengalaman saya pribadi. Sehingga semangat itu yang ingin saya tularkan kepada anak-anak didik saya.

Ya, jadi apa yang bisa diambil dari pengalaman saya menjadi pengawas ujian tingkat SMP. Saya rindu anak-anak bukan menjadi anak yang harus dikendalikan secara ketat, saya rindu mereka bisa memahami apa yang sedang mereka kerjakan dan memahami apa dampaknya ke orang lain, saya rindu mereka bisa punya tanggung jawab untuk dirinya sendiri. Menghilangkan mind set "guru itu pokoknya harus bisa ngasih materi ini anak-anak bisa ngerti"
Bagaimana dengan hal yang lebih penting buat mereka?
Karakter?
Apakah sudah bisa mereka survive dikehidupan hanya dengan mengandalkan kecerdasan intelektual saja, tanpa kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual?

Mari kita belajar dari hari ke hari dengan melihat dan memperhatikan mereka satu per satu.

Kamis, 23 Maret 2017

For My Own

Ketika yang menjadi musuh terbesar dalam kehidupanmu adalah dirimu sendiri. Bukan teman, sahabat, pacar (mungkin) atau siapapun.
Bagaimana bisa?

Kali ini saya berbicara tentang sebuah tanggung jawab dan kali ini memang saya harus berkata "Tidak". Mau tidak mau, suka tidak suka saya harus meninggalkan tanggung jawab itu. Beberapa kali saya sudah ingin meninggalkan tanggung jawab ini.
Berat? Tentu saja berat, tidak semua orang mempunyai kesempatan dan posisi seperti saya.

Siapa saya? Saya bukan siapa-siapa. Hanya orang pinggiran, nggak banyak yang tau siapa namanya, siapa orang tua saya, bahkan menjadi sekelompok masyarakat yang terkucilkan (tempat sampah aja gak di cat, 17 an yang lain dapet bendera saya enggak #kidding). Bukan bukan, masalahnya bukan itu hehehe.

Beberapa kali saya merasa ada sesuatu yang membuat saya "down".
Saya orang yang moody, segala sesuatu sangat tergantung dengan mood yang baik. Artinya mood yang tidak baik akan mengacaukan konsentrasi kuliah dan pekerjaan. Ditambah saya harus benar-benar konsentrasi untuk memastikan saya lulus kuliah tepat waktu.
(suatu saat saya akan menulis kisah ujian proposal tugas akhir)

Kok bisa down?
Ada beberapa hal yang terjadi dan membuat saya down.
Pertama, saya tipe manusia istimewa #ciee yang sangat sulit bahkan tidak mungkin mengungkapkan perasaan yang sebenarnya. Perasaan ini yang lama-lama menghancurkan mood saya.
Dampaknya kemana?
ke kuliah dan pekerjaan saya. Oke, saya memang melankolis dan selalu memikirkan hal-hal yang seharusnya tidak saya pikirkan. Beberapa hari kacau, bahkan sampai detik ini saya belum memegang revisi Tugas Akhir. Revisi hanya angan-angan karena mood yang kacau balau.

Saya bisa tersenyum dan tertawa, kepada siapapun. Bahkan saya rasa saya ini "Bully Able".
Silahkan, saya sama sekali nggak marah dan tersinggung dengan cara bercanda seperti apapun. Dan bukan itu yang menjadi masalah kenapa saya harus memutuskan keluar dari tanggung jawab. Saya nyaman, sangat nyaman ada ditengah-tengah kalian.

Dilarang orang tua?
Ya tentu bukan, ngapain Papa dukung semua bentuk kegiatan apapun kalau pada akhirnya melarang?
Ngapain mama ngasih pesan ke banyak orang kalau akhirnya melarang?
Mereka mendukung, bahkan mereka berusaha menjalin hubungan baik dengan pengurus-pengurus yang lain.
Bener kan? Berarti bukan

Terganggu Masalah waktu?
Ya nggak lah, kegiatan itu cuma 2 minggu sekali dan satu kali per bulan. Waktu bersama kalian itu nggak terlalu banyak mengubah waktu-waktu dalam kehidupanku sebelumnya.
Lagi pula jam-jam bersama kalian itu adalah jam-jam nganggur yang kadang hanya aku habiskan buat main game online atau menulis tulisan nggak jelas semacam ini :p

So, kalau "kamu" tanya kenapa?
aku hanya menjawab
Posisiku sangat tidak nyaman, ada perasaan aku harus down ketika sesuatu terjadi nantinya.
Yang paling membuat tidak nyaman, ketika beberapa orang mengatakan
"jangan sampai karena kamu (kamu ini menunjuk ke aku), satu orang dengan orang yang lain jadi merasa saingan atau bermusuhan"

Berbahagialan mereka yang datang untuk membawa damai dimanapun berada.

Bukan bermaksud meninggalkan tanggung jawab, tetapi saya berusaha menghentikan perselisihan karena hadirnya saya diantara kalian #Ehh #Ciee
Saya pun sangat tidak nyaman dengan perselisihan yang ada :)
Serta mengurangi karma yang berkemungkinan terjadi
Jadi saya melakukan semuanya untuk diriku sendiri, sampai suatu saat akan jelas aku bersama dengan siapa untuk menghindari semua perselisihan (Halah opo seh :p)

Semoga "kamu" memahami maksud dari tulisanku

For : Pand*

Senin, 20 Maret 2017

3 Bulan Menjadi Pengajar

Baru saja saya membiarkan anak-anak saya tidak istirahat kedua, kenapa? karena sepanjang saya mengajar ramaaai sendiri dikelas dan saya kehabisan waktu, bahkan dari 10 soal saya mampu menjelaskan 5 soal. itu pun masih banyak yg belum paham -__-
so what should i do? T___T

saya kembali ke meja saya duduk dan mengingat ketika saya menjadi siswa SMP 7 tahun yang lalu. saya sangat ingat kalau dari awal sampai akhir saya adalah siswa yang nurut dan nggak terlalu banyak ngomong dikelas.

Cuma entah kenapa jaman ini saya harus mengajar anak-anak dengan tingkat kesulitan yang tinggi.
saya pun nggak ngerti harus berbuat apa?
mungkin saya yang kurang persiapan untuk mengajar, ya bisa jadi.
atau mungkin cara mengajar saya yang salah
atau mungkin cara menjelaskan saya ke murid-murid.

Tapi ada yang tiba-tiba datang ke saya dengan pernyataan
"Bu, ini saya sudah dapat cara dari Pak .... dan saya lebih mengerti cara yang ini"
saya dengan muka yang mungkin masih sinis karena saya lelah
"ya gapapa pakai cara itu aja"

Tapi memang benar dari hati yang paling dalam saya bersyukur karena masih dibantu dengan guru lain dengan cara menjelaskan yang lebih baik. Iya itu sejak 7 tahun yang lalu sudah menjadi guru saya. eh 7 tahun lalu saya kelas 3 berarti +2 untuk kelas 1 dan 2. Artinya 9 tahun yang lalu :p
sedangkan saya 3 bulan yang lalu, saya benar-benar nggak ada apa-apanya.

Ah mungkin saya harus mencari cara sedemikian rupa untuk menjelaskan matematika.

Sudah berbagai macam cara (trial error), mulai dari saya tetapkan sistem poin untuk sikap, bercanda dikelas sebelum pelajaran, membentuk kelompok, latihan soal setiap minggunya dan masih banyak hal yang harus saya coba. Mungkin saya harus banyak belajar dari perubahan sikap anak ke saya.

Saya sempat curhat ke beberapa teman
"saya mengajar di sekolah X, saya mengajar matematika, tapi saya sangat sulit menguasai anak-anak dikelas, saya bisa matematika tapi 3 bulan ini saya belum ada progress yang baik sebagai pengajar yang baik"
ada beberapa diantara mereka yang mengatakan
"yaya lah kan masih 3 bulan"
"kamu terlalu cerdas, mangkanya gak bisa pengajar"
"kamu itu dari dulu kan sukanya keluyuran dan nggak suka terikat jam kerja, mungkin nggak suka dengan ikatan jam sekian sampai jam sekian"
apalah kata mereka saya hanya mendengarkan sebagai masukan.

Kegagalan demi kegagalan disetiap harinya selalu membuat saya takut menghadapi jam 6 pagi, karena saya harus bersiap bertemu dengan anak-anak lagi.
Dan tidak jarang 3 bulan ini saya sudah mempersiapkan diri sejak jam 3 pagi dan selama saya disekolah saya akan main game online dan tidak mau menatap mata siapapun untuk menutupi perasaan "saya ini loh nggak bisa ngajar T__T"

Mungkin, besok besok dan besoknya lagi saya akan mencari beberapa referensi untuk memperbaiki diri sebagai pengajar yang baik :)

3 Bulan menjadi pengajar

Senin, 06 Maret 2017

Tahun Pertama Mengajar

ini adalah bulan ke-3 saya menjadi pengajar disalah satu Sekolah Swasta, di Malang. Awalnya saya bergabung dengan sekolah ini untuk menjadi web developer untuk sekolah ini. Kemudian ada tawaran lain, yaitu menjadi pengajar dibidang matematika. Wah ya kebetulan sekali, dulu saya memang bercita-cita menjadi pengajar dibidang matematika. Tanpa pikir panjang saya langsung bilang "iya".

Bulan pertama saya merasa menjadi orang yang benar-benar baru, saya harus berkenalan dengan murid-murid disana. Senyuman mereka seperti mengucapkan "selamat datang guru baru".
Karena saya pernah menjadi murid di sekolah yang saat ini saya mengajar, saya nggak terlalu susah untuk beradaptasi. Masih ada beberapa guru yang dulu adalah guru saya.

Saya dipercaya untuk mengajar kelas VII dan IX. kesannya adalah adanya perbedaan yang sangat signifikan mengajar tingkat paling rendah dan paling tinggi dalam satu sekolah.
Semakin rendah tingkatannya, akan semakin sulit tingkat mengajarnya. Walaupun secara subyektif saya lebih nyaman mengajar kelas VII dari pada kelas IX. Tetapi dikedua kelas tersebut saya memberikan kasih sebagai seorang pengajar yang sama.

Bulan kedua saya mencoba membiasakan diri untuk menguasai kelas, bagaimana membuat murid-murid mau mendengarkan dan belajar. Menerima saya sebagai teman belajar.
Mulai saya berikan sistem poin untuk sikap, kalau sikapnya baik dikelas poin akan bertambah, sebaliknya kalau sikapnya buruk dikelas. Sistem itu cukup membantu saya untuk mengendalikan keramaian dikelas.

Saya juga mencoba sistem kompetisi satu kelompok. Ya dalam waktu kurang lebih 2 bulan saya sudah mulai bisa melihat satu per satu kemampuan siswa (saya berbicara tentang sistem pendidikan yang ada di negara kita ya dan saya harus mengikuti itu). Saya bentuk kelompok berdasarkan dengan kemampuan mereka belajar, sehingga akan terbentuk kelompok-kelompok yang seimbang. Saya pilih leader di tiap kelompok yang tugasnya adalah mengajari temannya yang belum bisa. Kalau ada soal yang susah yang tanya adalah leader dari kelompoknya. Hal ini saya terapkan semenjak saya merasa kuwalahan ketika beberapa anak menanyakan hal yang sama diwaktu yang berbeda. Cukup menyita waktu, jadi mending saya jelaskan ke satu anak dan anak akan menjelaskan ke temannya yang lain. Ya saya masih pada tahap trial error sih :p

Bulan ketiga atau keempat adalah bulan-bulan menjelang UTS. untuk yang pertama kalinya saya harus menyiapkan soal yang sesuai dengan kisi-kisi. Beberapa kali saya sharing dengan teman yang mengambil jurusan pendidikan dikuliahnya bercerita "mebuat soal itu nggak sembarangan, harus ada bagian ini bagian itu begini begitu" (banyak pokoknya). Saya sediri latar belakangnya adalah anak Teknik. nggak mau ribet yang penting hasilnya sesuai :p

Ada deadline pengumpulan soal, guru-guru lain sudah mengumpulkan soal jauh lebih awal. Bahkan saya belum menyelesaikan sampai sekarang. Untung saja, kepala sekolah yang sekaligus menjadi manager disekolah ini paham tentang keadaan guru baru. Ketika sarapan saya mengatakan "Pak, saya masih menyiapkan soal-soal" dan beliau dengan ketawa menanggapi "ya iya, nanti kalau sudah 2 tahun 3 tahun tenang".

Saat itu yang saya pikir "betapa malesnya saya, yang lain udah menyelesaikan soal kok saya belum". Ternyata, ya memang saya harus 'babat alas' dulu :p
(belum lagi saya harus memikirkan skripsi, huuuuuuuuuuu. lah kok jadi curhat).

Beberapa kali saya merasa kalau saya dicintai dan dirindukan oleh mereka. Saya yakin yang keluar dari mulut mereka itu tulus. Ya bedalah kalau kata-kata manis yang keluar dari mulut mahasiswa :p
Saya harus meninggalkan murid-murid saya untuk ngurusi skripsi yang masih saya kerjakan sapai sekarang. Beberapa kali saya hanya meninggalkan latihan soal untuk mereka. Ketika kembali mereka menyambut dengan sangat hangat
"buuu, nanti ada matematika ya"
"buuu kemarin kok gak ada berarti sekarang dobel"
"buuu gak usah pelajaran agama, lanjut matematika saja"
"buuu PKN nya aja yang satu jam, matematika dua jam"
dan lain sebagainya.
Kata-kata mereka membuat saya merasa "wah saya diterima dengan baik ya oleh mereka"

Ya, saya menikmati hari-hari saya bertemu dengan anak-anak manis walaupun setelah pulang yang ada dipikiran saya adalah "apa kabar skripsi?"