Kemarin malam, saya menemani seorang rekan lama ngopi. memang saya sudah sangat lama nggak ngopi dengan rekan saya. Saya dikenalkan dengan rekan-rekan ini ketika saya masih aktif sekali berorganisasi di kampus. Kemudian saya sibuk bekerja dan saya nggak ingin kehilangan lingkaran saya.
Kemudian saya berbincang dengan seseorang yang pemahamannya cukup saya kagumi. Baik dalam segi memandang keberagaman dan memandang realitas sosial. Sampai satu titik kami berdiskusi tentang pekerjaan seseorang.
"Mbak, kalau mbak lihat pemuda ganteng yang kulitnya putih kerja bangunan apa yang mbak pikirkan?"
"Ya, mungkin lebih baik dia jadi model atau artis"
"berarti kalau yang kulit hitam kerja bangunan gpp mbak?"
Saya hanya tertawa ketika pernyataan saya dibalik
"Kalau mbak melihat perempuan kulit putih jualan di pasar? mbak kasian nggak?"
Saya nggak mau kejebak dengan statement yang sama
"Nggak, saya biasa aja, dia juga gpp kerja jualan di pasar"
Kami sama-sama tertawa karena saya sudah menyadari apa yang sebenarnya dimaksud oleh rekan saya.
Ya benar, selama ini pikiran saya masih terjajah. Masih ada pengaruh dalam pikiran saya kalau perempuan kulit putih harus bekerja ditempat yang bersih, pakai pakaian yang rapi, punya pasangan yang ganteng dll. Seakan perempuan yang kulit hitam nggak layak mendapatkan itu semua. Perempuan kulit hitam layak kerja panas-panas, layak jadi pesuruh tapi yang kulit putih nggak layak.
Sama hal yang pikiran saya yang masih terjajah ketika saya memandang orang yang kerja bangunan lebih cocok yang kulit hitam, kalau kulitnya putih lebih cocok kerja dikantor atau mungkin jadi artis. Saya jadi layak mentertawakan diri saya sendiri.
Moral life from the story
Seberapa sering sih kita berpikir demikian? seakan kulit putih lebih terhormat dari kulit hitam. Saya pun baru menyadari itu semua kemarin malam ketika saya ngobrol. Ngobrol lebih jauhnya, sebenarnya diskriminasi perbedaan warna kulit tidak berasal dari Indonesia loh. Tetapi kenapa bisa bertumbuh di Indonesia? Bahkan secara tidak langsung saya punya pikiran kolot seperti itu sebelumnya.
Saya sudah sadar, how about you?
Kemudian saya berbincang dengan seseorang yang pemahamannya cukup saya kagumi. Baik dalam segi memandang keberagaman dan memandang realitas sosial. Sampai satu titik kami berdiskusi tentang pekerjaan seseorang.
"Mbak, kalau mbak lihat pemuda ganteng yang kulitnya putih kerja bangunan apa yang mbak pikirkan?"
"Ya, mungkin lebih baik dia jadi model atau artis"
"berarti kalau yang kulit hitam kerja bangunan gpp mbak?"
Saya hanya tertawa ketika pernyataan saya dibalik
"Kalau mbak melihat perempuan kulit putih jualan di pasar? mbak kasian nggak?"
Saya nggak mau kejebak dengan statement yang sama
"Nggak, saya biasa aja, dia juga gpp kerja jualan di pasar"
Kami sama-sama tertawa karena saya sudah menyadari apa yang sebenarnya dimaksud oleh rekan saya.
Ya benar, selama ini pikiran saya masih terjajah. Masih ada pengaruh dalam pikiran saya kalau perempuan kulit putih harus bekerja ditempat yang bersih, pakai pakaian yang rapi, punya pasangan yang ganteng dll. Seakan perempuan yang kulit hitam nggak layak mendapatkan itu semua. Perempuan kulit hitam layak kerja panas-panas, layak jadi pesuruh tapi yang kulit putih nggak layak.
Sama hal yang pikiran saya yang masih terjajah ketika saya memandang orang yang kerja bangunan lebih cocok yang kulit hitam, kalau kulitnya putih lebih cocok kerja dikantor atau mungkin jadi artis. Saya jadi layak mentertawakan diri saya sendiri.
Moral life from the story
Seberapa sering sih kita berpikir demikian? seakan kulit putih lebih terhormat dari kulit hitam. Saya pun baru menyadari itu semua kemarin malam ketika saya ngobrol. Ngobrol lebih jauhnya, sebenarnya diskriminasi perbedaan warna kulit tidak berasal dari Indonesia loh. Tetapi kenapa bisa bertumbuh di Indonesia? Bahkan secara tidak langsung saya punya pikiran kolot seperti itu sebelumnya.
Saya sudah sadar, how about you?