Senin, 28 Januari 2019

Orang Kulit Putih? Kasian Ya?

Kemarin malam, saya menemani seorang rekan lama ngopi. memang saya sudah sangat lama nggak ngopi dengan rekan saya. Saya dikenalkan dengan rekan-rekan ini ketika saya masih aktif sekali berorganisasi di kampus. Kemudian saya sibuk bekerja dan saya nggak ingin kehilangan lingkaran saya.

Kemudian saya berbincang dengan seseorang yang pemahamannya cukup saya kagumi. Baik dalam segi memandang keberagaman dan memandang realitas sosial. Sampai satu titik kami berdiskusi tentang pekerjaan seseorang.

"Mbak, kalau mbak lihat pemuda ganteng yang kulitnya putih kerja bangunan apa yang mbak pikirkan?"
"Ya, mungkin lebih baik dia jadi model atau artis"
"berarti kalau yang kulit hitam kerja bangunan gpp mbak?"

Saya hanya tertawa ketika pernyataan saya dibalik

"Kalau mbak melihat perempuan kulit putih jualan di pasar? mbak kasian nggak?"
Saya nggak mau kejebak dengan statement yang sama
"Nggak, saya biasa aja, dia juga gpp kerja jualan di pasar"

Kami sama-sama tertawa karena saya sudah menyadari apa yang sebenarnya dimaksud oleh rekan saya.

Ya benar, selama ini pikiran saya masih terjajah. Masih ada pengaruh dalam pikiran saya kalau perempuan kulit putih harus bekerja ditempat yang bersih, pakai pakaian yang rapi, punya pasangan yang ganteng dll. Seakan perempuan yang kulit hitam nggak layak mendapatkan itu semua. Perempuan kulit hitam layak kerja panas-panas, layak jadi pesuruh tapi yang kulit putih nggak layak.

Sama hal yang pikiran saya yang masih terjajah ketika saya memandang orang yang kerja bangunan lebih cocok yang kulit hitam, kalau kulitnya putih lebih cocok kerja dikantor atau mungkin jadi artis. Saya jadi layak mentertawakan diri saya sendiri.

Moral life from the story

Seberapa sering sih kita berpikir demikian? seakan kulit putih lebih terhormat dari kulit hitam. Saya pun baru menyadari itu semua kemarin malam ketika saya ngobrol. Ngobrol lebih jauhnya, sebenarnya diskriminasi perbedaan warna kulit tidak berasal dari Indonesia loh. Tetapi kenapa bisa bertumbuh di Indonesia? Bahkan secara tidak langsung saya punya pikiran kolot seperti itu sebelumnya.

Saya sudah sadar, how about you?

Minggu, 27 Januari 2019

Murid saya Namanya Michael

Berjalan 3 bulan, saya menikmati proses saya belajar menjadi seorang pendidik. Saya bertemu dengan banyak murid.Setiap anak memiliki posisi sendiri dihati saya. Salah satunya yang saya ingin tuliskan adalah seorang Michael.

Oh, sebelumnya saya akan ceritakan terlebih dahulu bagaimana sistem mengajar ditempat saya bekerja. Disini masih ada 2 teacher full time yang mengajar anak. Satu teacher difokuskan untuk bagian oprasional dan saya fokus dibagian kurikulum (mematangkan materi yang akan disampaikan ke anak). Dua teacher ini bisa saling bergantian. Misal, saat ini teacher A sedang repot masalah kurikulum, nah dia bisa digantikan dengan teacher B selama teacher B tidak ada kelas lain. Intinya, satu murid bisa diajar oleh beberapa teacher secara bergantian.

Kebetulan, Michael dari awal sampai saat ini hanya saya teacher yang mendampingi proses belajar dia. Dari dia ada di level 3 sampai saat ini dia ada di level 4. Michael salah satu murid yang berkesan buat saya. Bahkan kadang dia lah yang menularkan semangatnya ke saya.

Hampir setiap datang dia dengan wajah yang charming.
"Hai miss, kelas kita dibawah atau diatas?" pertanyaan yang selalu muncul kalau dia sudah datang
"Hari ini saya kelasnya sama siapa?"

Kebetulan, Michael seringkali kelas sendiri dan pernah berpartner dengan temannya yang level dan kelasnya sama. Selama saya mendampingi proses belajar, saya memperhatikan bahwa Michael ini adalah anak yang sering kali mengalah. Bahkan, saya khawatir kalau anak ini nggak akan mau berpartner dengan temannya karena kebetulan si teman ini suka merebut dan agak susah bekerja sama. Sebagai teacher yang saya lakukan hanya berusaha menjaga jalannya kelas supaya tetap kondusif.

Minggu berikutnya Michael datang kembali dan pertanyaannya masih sama, kelas diatas atau dibawah? hari ini saya kelas sama siapa?
Dan kebetulan Michael kelas sendiri saat itu, saya sampaikan
"hari ini Michael kelasnya sendiri ya, soalnya temennya kelasnya ganti jadwal"
"yah padahal saya lebih suka kalau ada temannya"

Jujur, kalau saya ada diposisi Michael saya akan lebih senang jika saya menjalani kelas sendiri, saya tidak perlu berbagi part lego, saya tidak harus mengalah. Si teman Michael ini seringkali membuat saya kasian sama Michael kalau kelasnya barengan.

Kemudian saya tanyakan ini pada Michael
"Kok Michael lebih suka kalau ada temannya? Padahal kan part mu suka direbut dan dia kadang-kadang nggak mau gantian"

"iya emang miss, saya sering ngalah, tapi kan saya bisa belajar sabar dan saya suka berteman jadi saya suka kalau ada temannya"

Toh meskipun saya teacher, saya tidak gengsi untuk mengakui bahwa dalam hal kesabaran dan berteman Michael jauh lebih unggul dari saya. Thank you Michael :)


Selasa, 15 Januari 2019

Mentertawakan Mahasiswa

Hari minggu lalu saya mendapatkan undangan dari bapak lurah. kebetulan saat itu yang menyelenggarakan acaranya adalah mahasiswa dari salah satu kampus swasta kota Malang yang tidak akan saya sebutkan berasal dari universitas mana.

Diundangan tersebut tertulis agendanya adalah peningkatan sumber daya manusia dan UMKM dengan pengenalan IT. Judulnya saja ada peningkatan sumber daya manusia dan menyinggung ranah UMKM. Saya tertarik, barangkali ilmu dari mereka adalah pengetahuan baru buat saya.

Saya datang 30 menit lebih lambat dari undangan karena saya sadar saya sedang hidup di Indonesia. Dan ketika saya datang hanya ada sederetan mahasiswa keren dengan menggunakan almamaternya. Kemudian saya memandang ke arah mereka dengan harapan saya akan disapa dan diajak masuk mengikuti acara. Harapan saya dipatahkan haha. Ternyata mereka cuek seakan saya nggak ada disana. Akhirnya saya kembali pulang. Untungnya rumah saya nggak terlalu jauh dari balai desa.

Masih beritikad baik, saya kembali sekitar 2 jam setelah saya pulang dan ternyata acara baru saja dimulai. Dan isi acaranya zonk!

Pertama nggak ada modul tertulis, mereka hanya ceramah didepan. ngomong kesana kesini, seakan hal yang disampaikan udah yang paling bener dan paling bermanfaat. Mungkin bukan terletak pada manfaatnya tetapi sasaran yang salah. Selama acara saya ngantuk dan nggak sanggup menyelesaikan sampai acara benar-benar selesai.

Kedua materinya pengenalan blog. Dan saya sudah menjadi seorang blogger sejak 10 tahun lalu. Disini, sikap hati saya kembali di uji dengan posisi saya diajarin caranya bikin email dan bikin blog. Berasa udah pengen bukain blog saya aja deh -_-

Nggak lama mereka beralih ke materi lain dan masih tanpa modul tertulis. Materi berikutnya tentang membuat website dan situs yang dibuka adalah situs mainstream banget www.w3school.com anak IT mana yang nggak kenal situs ini?
"jadi kalau blog tadi kan cara gampangnya, tapi kalau mau buat web yang CUSTOM kita harus pakai bahasa pemrograman HTML, CSS, JAVASCRIPT"
Saya sih paham apa itu html, css dan kawan-kawannya. Tapi halo, kamu tuh ngomong dimana pakai bahasa plamet begitu?
Lanjut
"kalau kita sudah CODING, kita tinggal HOSTING dan menentukan DOMAIN kita"
honestly saat itu saya posisikan diri sebagai orang yang bener-bener awam dengan IT dan saya akan plonga-plongo dengan istilah tersebut.
Nggak lama mereka melanjutkan
"kalau sudah tinggal akses ke SERVER dan upload file kita ke server"
(dan semua ocehan itu nggak ada praktek, penjelasan apa itu HTML, CSS, Server, Domain, Hosting. Murni ngomong di depan pakai mic)

Nih, kalau saya nggak sekolah IT dan mengikuti acara kayak gini berasa ngomong sama alien hehe. Disana ada 5 anak perwakilan karang taruna termasuk saya yang fokus karena tahu apa yang mereka bicarakan, 4 lainnya makan dan ngobrol hahaha.

Balik ke masalah undangan yang saya terima, UMKM nya disebelah mana? yang mereka sampaikan adalah "nah, nanti kalau sudah punya barang dari UMKM yang bisa dijual bisa dibuatkan web atau blog nya"
Eeeeetttt daaaaah bocaaaah!
Kalau saya jadi pelaku UMKM buat apa capek-capek kelola web atau blog, jual aja [alai


Saya menarik kehidupan saya 2 tahun ke belakang ketika saya masih menjadi mahasiswa. Saya beruntung karena saya mendapatkan beberapa pengajar meskipun mereka bukan dosen saya secara langsung yang mengajarkan bagaimana pemetaan masalah, berproses dengan masyarakat, menentukan akar masalah, mengenali potensi politik, budaya, sosial dan ekonomi, masih banyak lagi sehingga hari ini saya merasa bisa mentertawakan mahasiswa seperti itu. Ah menggemaskan.

Terimakasih bapak-bapak SC lantai 2 yang dulu saya juga agak kesel kalau diajak diskusi masalah latar belakang, akar masalah yang panjang. Saya sadar kalau saya akan ditertawakan masyarakat kalau saat itu saya nggak dibimbing untuk berpikir sampai ke akar-akar masalah :)


Rabu, 09 Januari 2019

Belajar Bersyukur (Pekerjaan)

Berjalan 4 bulan ini, saya bekerja di tempat yang baru. Sebelumnya saya pernah mengajar di sekolah swasta di kota Malang. Sebenarnya bukan masalah pekerjaan yang saya cari, tetapi karena passion saya di dunia pendidikan, saya suka anak-anak dan suka mengajar. Awalnya saya sangat antusias ketika saya sesekali bertemu dengan anak, mengajar, bercanda dengan mereka dan sesekali ngobrol dengan rekan kerja.

2 bulan tidak berjalan dengan baik. Kalang kabut. Berbeda standard dengan mereka yang bekerja hanya karena nyari uang atau yang bekerja karena suka dibidangnya. Beberapa kali gesekan dengan tim pusat sampai saya bilang cukup panas. Bagi mereka yang menitik beratkan pada kreatifitas teacher, tidak selalu sejalan dengan saya yang beranggapan bahwa kompetisi teacher juga harus dipertimbangkan, termasuk perangkat pembelajaran yang up to date.

Bulan ke 3 saya memilih untuk tidak banyak bergantung dengan pusat, baik kurikulum maupun cara mereka mengajar. Saya mulai olah sendiri cara saya mengajar, membuat sendiri pendukung pengajaran dll kemudian saya bagikan hasilnya dengan team Malang. Begitu seterusnya sampai berjalan 4 bulan.

Jalan bulan ke 4 saya mulai merasakan kehidupan yang mulai monoton. Mungkin saya mulai kehilangan yang dinamakan kasih mula-mula. Ditambah banyak jam-jam kosong yang saya mentok kehabisan ide untuk membuat perangkat pembelajaran yang baru dan harus tetap disitu sampai malam hari. Saya sudah mulai merasa ngantuk dan saya sebenernya ingin resign saja dan sepenuhnya ngurusin usaha dan bisnis keluarga. Tapi bagaimana dengan passion? Saya punya passion mengajar, sedangkan bisnis keluarga saya tidak ada yang liniar dengan passion saya.

Saya pun sempat berpikiran keluar pulau (Jambi). Something happen and make me think that I am prefer stay in Jambi. Saya mulai gelisah, Malang atau Jambi? Saya tidak ingin kehilangan keduanya.
Saya sudah sempat melihat beberapa lowongan yang bisa saya apply di Jambi. Tapi sekali lagi saya ingat dengan keluarga dan teman-teman di Malang. Wait, teman? Teman yang mana? saya hampir tidak punya teman yang sangat dekat di Malang. Saya memutuskan mengenal mereka sekedarnya saja. Saya sarankan jangan ditiru cara saya untuk berteman.

Saya bergumul dalam beberapa hari, benarkah saya ini bosan dan posisi seperti ini bukan saya sama sekali. Muncul beberapa ide untuk saya bisa mengurangi jam kerja saya di kantor dan separuh hari saya akan saya gunakan untuk membuat usaha saya sendiri lebih maju. Entah apa yang akan diputuskan berikutnya, yang pasti saya akan tetap membicarakan hal ini. Saya tetap akan meminta untuk mengurangi jam kerja saya di kantor.

Kemudian, saya lihat lagi ketika saudara saya, teman saya dan siapa saja yang saya temui sedang kesulitan mencari pekerjaan. Sedangkan saya sudah memiliki pekerjaan yang sesuai dengan passion saya (meskipun hasilnya tidak banyak).

Saya tidak mengeluh dengan rasa bosan yang saya alami setiap hari. Saya hanya ada di proses belajar bersyukur untuk setiap hal yang Tuhan ijinkan terjadi dikehidupan saya.