Rabu, 02 Oktober 2019

He change my life

Saya ingin membagikan sebuah cerita, dimana kehidupan saya yang Tuhan ubahkan. Saya akan memulai cerita saya dari masa SMP sampai saat ini dengan pekerjaan yang Tuhan percayakan, sebuah pekerjaan yang baik dan pekerjaan yang sangat saya cintai.

Puji Tuhan...

Saya lahir dari keluarga yang sederhana, Papa Mama dengan keadaan ekonomi biasa-biasa saja. Saya merasakan belum punya rumah, tidak punya uang jajan, dijadikan bahan ejekan kanan kiri. Hanya saja, saya diberikan otak yang kata orang cerdas. Saya bersyukur untuk hal itu.

Ketika SD, SMP, SMA saya tidak pernah turun dari peringkat 3 besar Paralel (umum). Rangking terjelek saya semasa study adalah rangking 3. It is not bad. It is good enough. Saya tumbuh menjadi seorang gadis yang sangat sombong dan angkuh. Saya pikir, dengan mengandalkan kepintaran saya, semua orang bisa tunduk kepada saya.

Saya tidak pernah punya teman dekat semasa sekolah. Saya tidak membutuhkan teman dekat, tetapi teman yang butuh saya. Di masa-masa sekolah, saya tidak peduli kalau ucapan, sikap dan perilaku saya menyakiti hati orang lain. Bagi saya, kalau orang lain mau menjauh, silahkan. Mereka pasti butuh saya karena saya pandai. Hal itu berlangsung terus sampai kuliah dan masuk dunia kerja.

Someday, keadaan keluarga yang biasa saja, ucapan dan ejekan orang yang menyakitkan hati itu yang memaksa kita menjadi pribadi yang kuat. Dari mental sampai fisik. Ketika SMP saya sudah terbiasa mencari uang sendiri dan tidak meminta uang jajan ke orang tua, saya menjadi guru les untuk anak SD (sekali lagi karena saya mengandalkan kepintaran saya). Saya menggadaikan jam main dan senang-senang supaya saya bisa dapat uang jajan.

Oh, saya melupakan sesuatu. Ketika saya masih SD, papa saya sudah mengajarkan saya mandiri dalam hal financial. Ketika saya masih kelas 2 SD, saya sudah merasakan panas-panasan jualan balon terbang. Jadi papa saya yang menunggu saya di sepeda dan saya diminta keliling menjajakan balon. Saya menawarkan mainan ke anak-anak seusia saya :")

Merinding ah nulisnya... :")

Ketika duduk di bangku SMA saya menjadi tukang ojek. it is true :)
Sebelum bertebaran ojek online seperti sekarang, saya sudah pernah jadi tukang ojek. Customer saya itu adalah ibu-ibu yang akan berangkat kerja ke pabrik rokok. Mereka sudah masuk kerja jam 5 pagi. Kebayang kan saya harus bangun dan prepare jam berapa? Setelah mengantar saya lanjut ke Sekolah. Saya tidak pulang dulu karena hemat bensin, kalau saya pulang saya harus pakai bensin dua kali lipat.

Udah punya motor? berarti orang punya dong?
No no... Motor itu juga saya dapatkan dari hasil buruh disalah satu konveksi pabrik jaket. Saya menjadi kurir antar barang disiang (sepulang sekolah) sampai sore hari bahkan malam. Dan upahnya saya pakai untuk membayar kredit motor second yang saya pakai.

Dari kerja keras itu kebutuhan pribadi saya cukup. Bahkan lebih yang kemudian saya investasikan untuk membeli mesin jahit sendiri. Ketika saya duduk di kelas 3 SMA, saya sudah punya 16 mesin jahit. That's why aku nggak pernah mikir pacaran semasa SMA, karena kehidupan ini cukup keras bagiku. Dibalik itu semua juga ada pertolongan orang tua dan dukungan dari mereka. Mama saya menolong saya untuk mengkoordinir ibu-ibu setempat untuk bekerja ditempat saya.

Dari titik itu saya sudah tidak pernah khawatir dengan financial keluarga saya. Kami menjadi keluarga yang cukup, bahkan lebih. Papa memutuskan merantau ke Bali supaya saya bisa lanjut kuliah.

Masalah kerja keras sudah biasa saya lakukan dan saya tidak pernah mengeluh akan hal ini. Di kampus pun saya menjalankan bisnis saya, banyak organisasi yang memesan kaos di tempat saya bahkan kaos di kampus pun memesan ditempat saya. Agak bermain politik di kampus hehe.

Saya sudah berubah? Belum... saya belum berubah..
Saya masih sombong dan angkuh. Saya sudah tidak kurang, financial saya sudah cukup, saya punya otak yang cerdas, saya didekati dengan banyak laki-laki (meskipun tidak ada salah satu dari mereka yang menarik buat saya) yang membuat saya merasa di atas angin.

Sampai pada suatu moment, saya mengalami kekeringan rohani. Saya bergereja, saya jemaat yang aktif dan saya menjadi orang yang sangat sibuk pelayanan. Hampir setiap hari saya ke gereja. Tetapi, saya tidak mengalami pertumbuhan secara rohani. Saya hanya sie sibuk, kerohanian saya tidak bertumbuh yang ada malah meorosot.

Siapa peduli?
Orang-orang disekitar saya masih memandang saya menjadi pribadi yang hebat. Saya masih melanjutkan kegiatan kuliah, pelayanan yang menyibukan dan bisnis yang berjalan dengan baik. Saya masih bisa mengimbangi pergaulan teman-teman saya. it is enough?

Big No. I still need Jesus.

Satu hal yang perlu saya tekankan disini adalah satu kali Tuhan sudah nangkap kamu, sampai mati kamu akan terus ada dalam genggamanNya. Hanya butuh respon yang benar ketika kita menginginkan sebuah terobosan terjadi.

Suatu ketika Tuhan kembali tangkap saya menjadi satu pribadi yang baru. Saya mengalami berbagai proses. Kepandaian dan kecerdasan saya tidak berguna tanpa ada sikap hati yang benar.

Saya memutuskan untuk pelan-pelan manrik diri dari kesibukan yang sia-sia. Terjadi guncangan ya tentu saja, saya yang dulunya dinilai "rohani banget", dibilang "fika lagi sakit". Wait, sakit?
Dan ini bener terjadi, ketika saya pelan-pelan menarik diri supaya tidak menimbulkan rasa nggak enak saya dianggap sebagai pribadi yang lagi sakit -_-

Tuhan bener-bener ngajari saya bagaimana saya belajar untuk mau tunduk. Sebelumnya saya pribadi yang tidak mau dan tidak akan tunduk, jangan harap ada laki-laki yang bisa menundukan kemauan saya, kalau laki-laki itu mau sama aku, dia yang harus tunduk sama saya. Sampai segitunya dan itu bener.

Roh kudus memampukan saya untuk benar-benar menyangkal dan melepas "ke-aku'an ku". Selama roh kudus memproses kehidupanku, tiada hari tanpa nangis. Tunduk pada aturan atau paling tidak memiliki respon yang benar itu hal paling sulit yang pernah saya alami. Bukan saya yang mampu, tetapi Roh Kudus yang memampukan.

Tuhan pula yang mengajari saya untuk mau rendah hati. Yang sebelumnya saya tidak mau melakukan hal-hal remeh, tetapi sekarang kalau Tuhan yang suruh saya ngepel lantai, ngelap kaca atau apapun akan saya lakukan.

Prosesnya berapa lama?
Tiga sampai Empat tahunan. Lama sekali buat saya. jatuh bangun, naik turun, nangis, gulung-gulung, teriak-teriak, guling-guling, salto, tiarap, push up, smack down -____-

Jadi kalau saat ini saya punya keluarga yang baik, pekerjaan yang baik, teman yang baik, financial yang baik itu bukan hasil usaha saya. Itu hanya bonus dari respon yang benar kepada Tuhan.

Tenang saja, penyertaan Tuhan itu Ya dan Amen. Jadi gini, kalau Tuhan belum mendapatkan sepenuhnya dari dirimu, Tuhan akan terus kejar, sampai Tuhan mendapatkan sepenuhnya dari dirimu, sepenuhnya dari hatimu, segenap dari akal budimu.

Responi segera :)

Jumat, 02 Agustus 2019

Sebuah Keputusan

Entah bagaimana ceritanya, ada satu kesempatan saya kembali berkomunikasi dengan seseorang. Sekian lama saya hanya berdoa dalam diam dan mengamati dari dunia maya. Ya, saat itu saya tidak memiliki keberanian mengungkapkan. Ketika saya memiliki kesempatan untuk mengatakan apa yang seharusnya saya katakan pikiran buruk saya dan hal-hal yang menjadi ketakutan saya sama sekali tidak terjadi. Saya masih bisa berteman dengan dia, masih menjalin komunikasi dengan baik.

Keputusan pertama mungkin bisa dibilang adalah keputusan yang tepat.

Keadaan kedua adalah saya dihadapkan pada pilihan saya harus bertahan dengan perasaan saya atau saya harus pergi dan melupakan perasaan saya?
Jika bertahan saya tidak memiliki jaminan bahwa dia memiliki perasaan yang sama.
Jika saya pergi, hubungan saya dan dia tidak akan menjadi semakin baik, meskipun itu hanya sebatas teman saja.
Berat......
Secara manusia, saya ingin memilih pilhan yang kedua. Saya pergi, hilang dan melupakan segala perasaan yang berhubungan dengan dia. Tetapi keputusan ini, saya tidak bisa lakukan sesegera itu. Beberapa hari saya diam dan memikirkan keputusan apa yang akan saya ambil. Akan lebih mudah jika saya menghapus semua komunikasi dengan dia, saya membuka hati untuk orang lain dan melanjutkan kehidupan saya. Saya belum menemukan keputusan dan jawaban sampai saat ini.

Lalu? Apa yang terjadi?
Saya masih diam dan mencoba menguatkan diri saya ketika dia tiba-tiba datang dalam komunikasi yang baik.
Sedih? Tentu saja :)
Saya masih sedih karena saya memilih bertahan dan belum menemukan sebuah jawaban. Saya harus pergi atau saya harus bertahan?

Saya tidak tahu apa saja yang terjadi semalam, tetapi dua hari ini saya merasakan sesuatu yang membuat hati saya bersedih. Pikiran saya tertuju pada dia, apa yang saya lakukan teringat dia. Entah apa yang terjadi dengan dia saya juga tidak memiliki jawaban. Atau mungkin sebenarnya saya sudah kehilangan dia? Atau mungkin dua hari ini ada orang lain yang sudah bersama dia? Atau apa?

Keputusan!
Lagi dan lagi saya dihadapkan pada sebuah keputusan yang harus saya ambil.

Selasa, 23 Juli 2019

Terbaik (Yudisium)

Saya baru saja menyelesaikan pengukuhan Yudisium Strata 1 beberapa jam yang lalu. Saya berada di posisi duduk paling depan dan bersama dengan rekan cowok. Dalam barisan paling depan, saya yakin kalau saya adalah orang yang paling cantik karena dalam deret itu hanya saya satu-satunya perempuan hehe. Saya memandangi satu per satu dosen dosen yang pernah membimbing saya dalam perkuliahan. Saya mengingat moment apa saja yang pernah saya alami bersama dengan beliau. Sangat banyak, salah satunya adalah Kepala Program Studi saya, merupakan satu-satunya dosen yang pernah mengajak saya berdoa diruangannya karena saat awal masuk kampus banyak pergumulan dalam studi (tidak selancar keliahatannya).

Sebelahnya lagi ada dosen saya yang lain, saya cukup kagum dengan pembawaannya yang tenang dan cukup unik. Kemudian saya menoleh ke samping kanan ada dosen pembimbing utama saya, melihat saya dan tersenyum, sebelumnya menyapa saya dan berkata "akhirnya kamu bisa selesai". Barisan kanan agak belakang ada dosen penguji saya, saya memandangnya dari kejauhan dan bersyukur karena bantuan beliau saya "diijinkan" lulus.

Undangan jam 8 pagi dan prosesi yudisium jam 10 pagi, saya sengaja mengamati sekeliling saya, mungkin hari-hari terakhir saya ada diruangan ini dan tidak lama lagi saya akan menjadi alumni, oh atau sebenernya saya sudah alumni?

Tiba waktunya pengukuhan yudisium. Nothing Special, kanan kiri saya bukan lagi kebanyakan teman satu angkatan saya. Kebanyakan mereka mahasiswa 2 tahun dibawah saya. Ya, saya memang lulus satu tahun lebih lama karena sibuk bekerja sampai tidak ada fokus untuk melanjutkan skripsi dan baru baru saja mengurus keperluan Yudisium, satu tahun setelah Sidang Kompre.

Saya dipanggil dan IPK saya memang masih bisa dikatakan baik. Saya maju ke depan dengan perasaan sedikit gugup. Saya berjabat tangan dengan Kepala Program Studi dan beliau mengatakan "Akhirnya kamu selesai ya". Saya hanya tersenyum dan tidak tahu harus merespon apalagi. Setelah semua peserta Yudisium dipanggil satu per satu, mulailah pembacaan lulusan-lulusan terbaik.

Tidak ada nama saya di jajaran lulusan terbaik hehe. Ya siapa juga yang akan menjadikan saya lulusan terbaik, lulus satu tahun lebih lama dan mengurus keperluan Yudisium dua tahun setelahnya. Saya fokus bekerja dan bekerja, banyak hal yang harus saya dahulukan ketimbang urusan Yudisium. Bukan saya meremehkan Yudisium, hanya ada prioritas lain yang sedang dikerjakan, seperti menulis di sela-sela kebosanan.

FYI, saya tidak menemukan dosen pembimbing 2 saya hadir. Mungkin beliau sedang ada agenda lain, padahal saya berharap bisa bertemu dan mengucapkan banyak terimakasih kepada beliau. Ada satu moment juga ketika saya kembali ke tempat duduk saya setelah menerima SKL, saya ditegur oleh Seorang Dosen Prodi lain "Fika, akhirnya kamu lulus". Dosen yang pernah mendebat saya sampai nangis didepan umum, dihadapan jajaran staff kampus dan mahasiswa, salah satu dosen yang menguatkan mental saya.

Selesai prosesi Yudisium dan makan-makan, saya bergegas ke kantor dan hanya mengambil beberapa foto bersama teman satu angkatan. Sesampai dikantor saya berganti pakaian kerja dan mulai kembali fokus bekerja, saya melihat map berisi Surat Keterangan Lulus, tanpa ada predikat terbaik. Manusiawi, saya sempat sedih dan kecewa ketika tidak ada nama saya dijajaran mahasiswa terbaik.

Bukan untuk menyombongkan diri saya, tetapi dari kecil saya selalu ada dijajaran anak yang selalu "dibanggakan". Dari SD - SMA, saya ada dijajaran siswa teladan dan berprestasi. Rangking terburuk saya ada diposisi 2 dan itupun sangat jarang saya ada di rangking 2. Semasa awal kuliah saya sempat menjadi kandidat Student Of The Year, menjadi ketua pelaksana event terbesar kampus dan lain sebagainya. Itu juga yang membuat saya mempunyai hubungan yang cukup dekat dengan kebanyakan staff dan dosen kampus.

Saya tidak pernah ditolak dalam pergaulan. Teman-teman di sekolah, di kampus dan dimana saja bisa menerima saya dengan sangat baik. Mungkin karena saya saat itu mengandalkan kepintaran saya yang tidak seberapa ini hehe. Sampai pada masa memang saya sangat membatasi lingkaran pertemanan saya karena suatu hal.

Saya cukup stress kali ini ketika nama saya tidak ada dijajaran mahasiswa terbaik.

The value from the story.
Saya mencoba untuk menerima kenyataan bahwa kehidupan memang berputar, saya tidak harus selalu berada diatas. Ketika saya ada dibawah dan menjadi sosok yang biasa-biasa saja, saya harus bisa menerimanya. Padahal, ratusan mahasiswa yang lain senang-senang saja karena hanya bisa lulus. Mereka berfoto ria dan tertawa, sedangkan saya? Hahaha, lucu sekali sesuatu yang membuat saya agak tergoncang siang ini.

Berhati-hatilah dengan sikap hati ketika seringkali berada diatas, seseorang yang selalu berada di atas akan merasa cukup stress ketika satu kondisi tidak berada diposisi teratas. Hati-hatilah dengan pikiran bahwa "aku lebih baik dari mereka", bisa saja itu yang akan membunuh mood baikmu seharian.

Bersyukurnya saya karena saya bisa belajar menerima untuk tidak selalu menjadi yang terbaik saat ini, saat saya masih muda dan saat saya tidak terlalu jatuh, meskipun saya tidak ada di puncak lagi.

Pada intinya, saya bersyukur karena saya sudah bisa menyelesaikan study saya :)

Selasa, 12 Maret 2019

Membayangkan "Penderitaan" Naik Gunung

Saya orang yang sangat senang mendengarkan cerita beberapa teman saya yang naik gunung. Mereka menceritakan puasnya mereka sampai di puncak dan melihat pemandangan yang indah. Tidak sedikit juga dari mereka yang menceritakan kebersamaan bersama teman ketika naik gunung, masak di puncak gunung, berbagi dan lain sebagainya.

Apakah saya ingin naik gunung?
Ya, saya ingin naik gunung. Melihat keindahan alam dan merasakan kebersamaan dengan teman. Saya ingin foto dengan background pemandangan dan langit yang luas, pakai pakaian ala-ala gunung, pakai sepatu ala-ala gunung. Membayangkan saja rasanya perfect sekali.
Apakah saya pernah naik gunung?
Nggak hahaha.

Kalau saya membayangkan enaknya saja saya naik gunung, saya pasti sangat ingin naik gunung. Melihat orang yang posting foto naik gunung, sudah pasti saya ingin naik gunung.
Saya belum pernah naik gunung tetapi saya punya beberapa teman yang suka naik gunung. Menurut pandangan saya, banyak positifnya bergaul dengan orang yang suka naik gunung.
Pertama, mereka adalah orang yang nggak gampang ngeluh.
Kedua, orang yang suka naik gunung kebanyakan adalah orang-orang yang pandai menghargai orang lain.
Ketiga, yang menurut saya paling penting, mereka berpikiran terbuka dan suka berteman plus terbiasa bertemu dengan orang baru atau pengalaman baru.

Saya pribadi akan sangat siap menerima semua hal positif dari naik gunung. Tetapi saya coba berpikir, apakah saya siap menghadapi penderitaan naik gunung? Jawabannya tidak haha.
Tidak banyak teman yang menceritakan hal negatifnya naik gunung, bahkan jeleknya naik gunung tidak terupload di sosial media. Beberapa alasan saya yang menjadikan saya tidak siap jika saya harus naik gunung misalnya

1. Kulit saya bisa gosong wkwkwk. Saya bukan cewek yang rajin-rajin banget perawatan sehingga saya lebih cenderung untuk menjaga kulit saya. Saya tidak pakai cream pemutih tapi saya memutuskan untuk menjaga kebersihan kulit saya. Bukan berarti saya anti panas matahari, nggak juga.
2. Saya belum siap jika saya harus sakit perut mendadak dan mau bab dimana? Untuk membayangkan saja udah manyun-manyun sendiri hahaha
3. Kehabisan Supply baik tenaga, makanan, listrik mungkin dll. Apalagi, saya cewek yang nggak tahan laper. Saya bisa nahan ngantuk tapi saya nggak bisa nahan laper hehe.

Sekali lagi, saya sama sekali tidak beranggapan bahwa naik gunung ini negatif, tapi saya pribadi belum siap mental menghadapi hal negatifnya. Saya hanya siap dengan hal positifnya saja.

What's the value from the story?

Kalau kita melihat kesuksesan orang lain, seakan kita sangat mau menjadi orang itu. Kalau saya melihat keindahan pemandangan yang teman saya dapatkan ketika sampai puncak, saya juga mau sampai puncak. Masalahnya, saya hanya nggak mau mengalami penderitaan yang mereka alami sebelum sampai ke puncak. Masalahnya, kita belum tentu mau menjalani tingkat disiplin yang tinggi seperti orang-orang sukses pada umumnya.

That's why, saya selalu melihat dibalik puncak dan kesuksesan seseorang pasti ada "penderitaan" yang dilalui.

Jumat, 08 Maret 2019

Keane dan Rayner

Kali ini saya akan bercerita tentang kegiatan saya selama 4 bulan terakhir dan tidak selalu saya tuliskan. Masih di profesi yang sama yaitu seorang pengajar.

Ada murid saya bernama Keane dan Rayner. Keane adalah murid kelas 1 SD sedangkan Rayner masih TK B. Kebetulan mereka adalah anak-anak yang sudah ikut bimbingan belajar dari pembukaan learning center tempat saya bekerja. Saat itu, teacher yang mengajar hanya ada saya dan owner. Otomatis kelas akan lebih banyak saya yang handle.

Saat itu, saya merasa dapat mengajar anak jenis apapun. Dari yang diam sampai yang bawel. Di awal saya masih semangat, jadi apapun kondisi muridnya saya mencoba menikmati. Termasuk kelas Keane dan Rayner.

Awal mula saya mengajar dan anaknya masih anak-anak baru saya masih bisa mengendalikan anak-anak itu dengan baik, materi bisa saya sampaikan meski saya agak jengkel karena beberapa kali nggak dianggep hehe.

Sampai pertemuan kedua, ketiga masih aman karena masih tergolong baru tetapi sudah mulai kelihatan karakter aslinya anak-anak ini. Mereka adalah anak yang aktif dan suka main, jadi saya kadang merasa kelelahan kalau saya harus menuruti mereka main. Sampai satu moment saya nggak sanggup lagi mengikuti keinginan mereka main, saya mau mengajar anak sesuai dengan konsep kelas yang sudah saya siapkan. Beruntungnya, kedua anak ini bukan anak yang bisa diajak untuk menjalani kelas sesuai dengan konsep saya, sampai satu titik mungkin anaknya sebel saya dilempar duplo blocks dan kena kepala saya.

Namanya anak-anak, saya akan salah kalau sampai memasukkan kejadian ini sampai hati. Sampai akhir kelas akhirnya saya terbawa suasana BT. Saya coba komunikasikan kalau saya nggak sanggup untuk ambil kelas ini.

Nggak lama dari kejadian itu ada partner yang baru dan ternyata dia bisa sangat asik ketika dia berproses di kelas Keane dan Rayner. Saya dan owner masih heran "kok kelasnya bisa se-asik itu ya?"
Nggak terjadi masalah apapun dan materi yang ingin disampaikan bisa diterima dengan baik oleh anak.

The value from the story

Kadang saya merasa kalau saya bisa menghadapi semuanya sendiri, dengan kecakapan dan pengalaman saya mengajar yang sudah cukup lama. Ketika saya bertemu dengan anak bertipe seperti Keane dan Rayner dengan cara belajar mereka yang sangat aktif, honestly saya jadi kuwalahan. Bahkan saya mengatakan pada diri saya sendiri kalau saya memang nggak sanggup dengan tipe anak seperti ini.

Rekan kerja baru yang awalnya saya rasa dia nggak akan bisa, saya aja nggak bisa masak dia bisa? ternyata dia malah bisa membawa suasana kelas menjadi lebih hidup. That's amazing.

Begitulah hidup, nggak ada yang sempurna. Toh meskipun saya sudah merasa cakap mengajar dan merasa bisa mengajar, saya masih tidak sempurna. Masih banyak hal-hal yang saya perlu poles lagi. Atau memang sebenarnya akan ada titik-titik tertentu yang saya tidak bisa lakukan dan memang harus dilakukan oleh orang lain :)

Minggu, 03 Maret 2019

Mensyukuri Hal Bodoh

Kejadiannya memang sudah lama, lebih dari sebulan yang lalu. Saya mendapat undangan dari rekan saya yang akan menikah. Kebetulan, rekan saya ini sudah kenal saya sejak lama dan sekarang menjadi partner kerja yang fokus dibidang pendidikan robot.

Kemudian saya duduk disalah satu meja yang sesuai dengan kode undangan. Karena saya single #ehh jadi saya berangkat bersama dengan sahabat cowok saya. Kebetulan sahabat saya ini anak kos, jadinya lumayanlah bisa makan gratis.

Saya sepakat dengan teman kantor yang lain supaya duduk satu meja, karena saya yang berangkat paling belakangan, ya saya ngikuti aja dimana mereka duduk. Saya nggak masalah dengan tempat duduk atau apapun yang ada disana.

Karena acara belum juga di mulai, jadilah saya cek story Whatsapp dan salah satu kenalan saya membuat story kalau dia sedang ada ditempat yang sama. Sebenarnya, kami pernah satu komunitas, entah karena saya yang terlalu sombong atau memang jenis privasi dia yang level dewa, saya nggak pernah tau anaknya ini bentuknya seperti apa.

Dengan PD nya karena saya merasa kenal dengan teman saya ini, saya menjawab story WA nya dengan santai
"wah aku juga ditempat yang sama, kamu di sebelah mana"
Dan jawaban dia adalah
"Lah kan aq depan mu"

Dan benar, depan saya persis adalah seorang yang wujudnya laki-laki dan dia itu yang pernah chating dengan saya dari lama tapi saya yang baru sekarang tau bentuk aslinya.

Malu jelas lah, karena saya jelas jelas nanya keberadaan orang yang ada didepan saya. Tapi saya nggak salah, salah dia aja ngapain pasang DP whatsapp yang nggak jelas? kan saya jadi nggak tau #WanitaNggakPernahSalah

Kalau kata temen sebelah saya "kalau aku jadi kamu, pasti aku langsung cabut pulang"

Saya nggak akan mungkin meninggalkan acara sebelum semuanya selesai. Sepulang dari acara saya mendatangi dia dan mengajaknya ngobrol.

I don't know why, sejak obrolan pertama saya dengan dia di depan gedung pernikahan itu, tidak ada sedikitpun perasaan was was dan curiga. Saya merasa bahwa dia baik baik saja dan dia adalah orang baik. Seminggu kemudian dia datang ke kantor dengan membawa pengetahuan dia tentang kelistrikan dan lain-lain.

Kemudian dia datang lagi dengan membawa ilmunya yang lain. Saya yakin pada dasarnya dia adalah orang baik meskipun dia pernah berkata kalau dia bukan orang baik. Saya juga nggak tau kenapa dia nggak ada temen deket padahal berteman sama dia itu menyenangkan :)

What the value from the story?

Kita nggak pernah tau kapan dan dimana kita bisa bertemu dengan orang yang unik. Bahkan lewat hal terbodoh sekalipun. Saya masih bersyukur saat itu saya membalas story nya karena saya jadi bisa ngobrol dan tau bentuk aslinya, meskipun dibalik itu saya malu juga lah -_-
Mungkin 90% dia nggak akan nyapa saya duluan kalau bukan saya yang melakukan hal bodoh duluan hehe

Karena dia handalnya kelewatan dibidang elektronika, tapi dia selalu bilang "biasa aja", ini kok saya merasa jadi tertampar kalau dihadapkan manusia macem gini. Diem nggak banyak omong, tapi karya dia yang berbicara.

Sesuatu yang sangat saya syukuri ketika saya bisa bertemu dengan orang baik lainnya :)

Kamis, 28 Februari 2019

Jejak Hidup

Kemarin malam, saya berencana menjenguk ayah teman saya yang sedang sakit. Beliau dirawat dirumah sakit, tidak jauh dari rumah saya. Karena saya pulang kerja dan langsung mampir kerumah sakit, hampir sampai dilokasi saya kelupaan kalau saya tidak membawa apapun untuk dia. Saya putuskan untuk lanjut ke sebuah toko roti dan membawakan satu kardus roti. Ketika saya sampai di rumah sakit, saya di info supaya saya lewat belakang saja karena jam besuk sudah habis. Masih bisa jenguk kalau saya lewat pintu belakang.

Saya sempat salah beberapa tempat, dan saya putuskan buat telfon saja. Diarahkanlah saya via telfon sampai ketemu dengan dia. Saat itu, saya tidak ada janji dengan teman yang lain, kecuali dia. Saya berangkat sendiri karena teman saya ini adalah teman yang duduk sebangku dengan saya selama saya SMA. Sejak kelas 1 SMA. Dia cowok dan memang saya lebih suka berteman dengan cowok sejak kecil.

Pikiran saya awalnya, hanya saya yang akan datang menjenguk papa nya karena saya teman baiknya dari jaman SMA. Saya tidak pernah tau kalau ternyata ketika saya datang sudah banyak teman SMA lain yang ada di situ. Karena saya anak IPA yang suka main dengan anak IPS, bully untuk saya masih sama dari jaman SMA
"weee, arek IPA nyasar"
Ya karena nggak banyak anak IPA yang suka main dengan anak IPS, kecuali saya. Teman yang ada disitu memang semuanya anak IPS kecuali saya, tapi mereka masih ingat kalau pulang sekolah main kerumah anak IPA. Ya nggak mungkin belajar, pelajarannya saja sudah beda. Kecuali pelajaran bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

Saya duduk bersama gerombolan teman lama, agak keki karena saya lama juga nggak nongkrong bareng mereka. Awalnya saya memang agak kesulitan mencerna cara bercanda mereka. Ya setelah sekian tahun lulus SMA dan lingkungan berteman saya juga otomatis berubah, cara saya bercanda dan menyikapi joke juga berubah.

Setelah saya datang, rupanya masih banyak teman-teman SMA yang datang. Saya berpikir, apakah setiap hari selama dia merawat ayahnya di rumah sakit selalu ada teman yang datang?
Nggak lama teman akrab saya datang dan langsung menyapa saya, karena kami memang sudah klik dari jaman SMA.
"kamu dari rumah?"
"iya, tiba-tiba di ajak"

Teman yang lain chat saya via whatsapp, memberi info kalau dia nggak bisa datang hari itu karena urusan study. Dia akan datang hari sabtu dan menginap di Rumah sakit.

What's the value from the story?

Saya berteman dengan teman saya ini sudah lama. Hanya karena kami sebangku ketika kelas 1 SMA dan dia adalah teman pertama saya di SMA (karena saya anak pindahan). Tapi saya bisa tetap berteman baik bertahun-tahun berikutnya. Ketika masuk dipenjurusan, kami sudah beda jurusan, dia masuk jurusan IPS dan saya masuk jurusan IPA. Kami hanya sebangku selama satu tahun saja. Tapi jejak hidup satu tahun dari dia bisa membawa saya yang capek pulang kerja meluangkan waktu untuk menjenguk ayahnya yang sedang sakit. Saya tidak pernah kenal ayahnya, saya hanya berteman baik dengan teman saya.

Ketika melihat teman lain yang sudah ada di sana sebelum saya datang dan yang masih berdatangan lagi, saya pikir dia adalah teman yang meninggalkan jejak hidup yang baik. Mereka adalah teman yang kurang lebih 9 tahun nggak bareng-bareng setiap hari, tapi masih datang menjenguk.

Teman saya ini adalah teman yang sangat sederhana. Jauh dari tempat tongkrongan mewah, kadang hanya ngopi dipinggir jalan. Tetapi dia juga tidak keberatan menolong teman yang lainnya.

Pelajaran penting adalah menjadi pribadi yang baik dan sederhana lebih penting dari kamu punya banyak uang. Mungkin kamu akan senang ketika kamu punya banyak uang, tapi uangmu tidak akan menjamin orang sekitarmu akan mencintai kamu. Ketika kamu punya banyak uang, temanmu akan sangat banyak, tetapi bagaimana ketika kamu dalam posisi down? Apakah teman mu masih ada?

Ketika kamu punya banyak uang, kamu dapat membeli apapun yang kamu mau, kamu bisa mendapatkan perempuan manapun yang cantik yang kamu inginkan, kamu dapat menggait laki-laki ganteng yang kamu inginkan. Tetapi ketika uang itu nggak ada lagi (semua yang ada dibawah kolong langit ada masanya), atau uangmu tidak bisa mengantar kamu kerumah sakit ketika kamu sakit, uangmu tidak bisa menemani makan malam bersama dengan orang yang mencintai kamu, uangmu tidak bisa bercanda dan tertawa lepas dengan joke receh. Siapakah yang akan menemani kamu? Jika bukan orang-orang yang mencintai kamu karena jejak hidupmu yang baik.

Selasa, 26 Februari 2019

Sebuah Musim

Musim semi, musim panas, musim gugur dan musim dingin.
Semua yang ada di kolong langit ada masanya.
Musim tidak hanya musim semi yang semuanya indah
Musim tidak hanya musim panas yang cukup berat
Bukan juga selalu musim gugur, melihat dedaunan yang berguguran
Musim dingin pun tidak selalu ada

Akan datang kembali musim semi. semua indah tetapi indah tidak akan selalu indah
Kepastian sebuah keindahan yang selalu ada dan tidak kenal musim adalah kasih Tuhan

Nikmatilah sebuah kasih~
Kasih Tuhan

Senin, 28 Januari 2019

Orang Kulit Putih? Kasian Ya?

Kemarin malam, saya menemani seorang rekan lama ngopi. memang saya sudah sangat lama nggak ngopi dengan rekan saya. Saya dikenalkan dengan rekan-rekan ini ketika saya masih aktif sekali berorganisasi di kampus. Kemudian saya sibuk bekerja dan saya nggak ingin kehilangan lingkaran saya.

Kemudian saya berbincang dengan seseorang yang pemahamannya cukup saya kagumi. Baik dalam segi memandang keberagaman dan memandang realitas sosial. Sampai satu titik kami berdiskusi tentang pekerjaan seseorang.

"Mbak, kalau mbak lihat pemuda ganteng yang kulitnya putih kerja bangunan apa yang mbak pikirkan?"
"Ya, mungkin lebih baik dia jadi model atau artis"
"berarti kalau yang kulit hitam kerja bangunan gpp mbak?"

Saya hanya tertawa ketika pernyataan saya dibalik

"Kalau mbak melihat perempuan kulit putih jualan di pasar? mbak kasian nggak?"
Saya nggak mau kejebak dengan statement yang sama
"Nggak, saya biasa aja, dia juga gpp kerja jualan di pasar"

Kami sama-sama tertawa karena saya sudah menyadari apa yang sebenarnya dimaksud oleh rekan saya.

Ya benar, selama ini pikiran saya masih terjajah. Masih ada pengaruh dalam pikiran saya kalau perempuan kulit putih harus bekerja ditempat yang bersih, pakai pakaian yang rapi, punya pasangan yang ganteng dll. Seakan perempuan yang kulit hitam nggak layak mendapatkan itu semua. Perempuan kulit hitam layak kerja panas-panas, layak jadi pesuruh tapi yang kulit putih nggak layak.

Sama hal yang pikiran saya yang masih terjajah ketika saya memandang orang yang kerja bangunan lebih cocok yang kulit hitam, kalau kulitnya putih lebih cocok kerja dikantor atau mungkin jadi artis. Saya jadi layak mentertawakan diri saya sendiri.

Moral life from the story

Seberapa sering sih kita berpikir demikian? seakan kulit putih lebih terhormat dari kulit hitam. Saya pun baru menyadari itu semua kemarin malam ketika saya ngobrol. Ngobrol lebih jauhnya, sebenarnya diskriminasi perbedaan warna kulit tidak berasal dari Indonesia loh. Tetapi kenapa bisa bertumbuh di Indonesia? Bahkan secara tidak langsung saya punya pikiran kolot seperti itu sebelumnya.

Saya sudah sadar, how about you?

Minggu, 27 Januari 2019

Murid saya Namanya Michael

Berjalan 3 bulan, saya menikmati proses saya belajar menjadi seorang pendidik. Saya bertemu dengan banyak murid.Setiap anak memiliki posisi sendiri dihati saya. Salah satunya yang saya ingin tuliskan adalah seorang Michael.

Oh, sebelumnya saya akan ceritakan terlebih dahulu bagaimana sistem mengajar ditempat saya bekerja. Disini masih ada 2 teacher full time yang mengajar anak. Satu teacher difokuskan untuk bagian oprasional dan saya fokus dibagian kurikulum (mematangkan materi yang akan disampaikan ke anak). Dua teacher ini bisa saling bergantian. Misal, saat ini teacher A sedang repot masalah kurikulum, nah dia bisa digantikan dengan teacher B selama teacher B tidak ada kelas lain. Intinya, satu murid bisa diajar oleh beberapa teacher secara bergantian.

Kebetulan, Michael dari awal sampai saat ini hanya saya teacher yang mendampingi proses belajar dia. Dari dia ada di level 3 sampai saat ini dia ada di level 4. Michael salah satu murid yang berkesan buat saya. Bahkan kadang dia lah yang menularkan semangatnya ke saya.

Hampir setiap datang dia dengan wajah yang charming.
"Hai miss, kelas kita dibawah atau diatas?" pertanyaan yang selalu muncul kalau dia sudah datang
"Hari ini saya kelasnya sama siapa?"

Kebetulan, Michael seringkali kelas sendiri dan pernah berpartner dengan temannya yang level dan kelasnya sama. Selama saya mendampingi proses belajar, saya memperhatikan bahwa Michael ini adalah anak yang sering kali mengalah. Bahkan, saya khawatir kalau anak ini nggak akan mau berpartner dengan temannya karena kebetulan si teman ini suka merebut dan agak susah bekerja sama. Sebagai teacher yang saya lakukan hanya berusaha menjaga jalannya kelas supaya tetap kondusif.

Minggu berikutnya Michael datang kembali dan pertanyaannya masih sama, kelas diatas atau dibawah? hari ini saya kelas sama siapa?
Dan kebetulan Michael kelas sendiri saat itu, saya sampaikan
"hari ini Michael kelasnya sendiri ya, soalnya temennya kelasnya ganti jadwal"
"yah padahal saya lebih suka kalau ada temannya"

Jujur, kalau saya ada diposisi Michael saya akan lebih senang jika saya menjalani kelas sendiri, saya tidak perlu berbagi part lego, saya tidak harus mengalah. Si teman Michael ini seringkali membuat saya kasian sama Michael kalau kelasnya barengan.

Kemudian saya tanyakan ini pada Michael
"Kok Michael lebih suka kalau ada temannya? Padahal kan part mu suka direbut dan dia kadang-kadang nggak mau gantian"

"iya emang miss, saya sering ngalah, tapi kan saya bisa belajar sabar dan saya suka berteman jadi saya suka kalau ada temannya"

Toh meskipun saya teacher, saya tidak gengsi untuk mengakui bahwa dalam hal kesabaran dan berteman Michael jauh lebih unggul dari saya. Thank you Michael :)


Selasa, 15 Januari 2019

Mentertawakan Mahasiswa

Hari minggu lalu saya mendapatkan undangan dari bapak lurah. kebetulan saat itu yang menyelenggarakan acaranya adalah mahasiswa dari salah satu kampus swasta kota Malang yang tidak akan saya sebutkan berasal dari universitas mana.

Diundangan tersebut tertulis agendanya adalah peningkatan sumber daya manusia dan UMKM dengan pengenalan IT. Judulnya saja ada peningkatan sumber daya manusia dan menyinggung ranah UMKM. Saya tertarik, barangkali ilmu dari mereka adalah pengetahuan baru buat saya.

Saya datang 30 menit lebih lambat dari undangan karena saya sadar saya sedang hidup di Indonesia. Dan ketika saya datang hanya ada sederetan mahasiswa keren dengan menggunakan almamaternya. Kemudian saya memandang ke arah mereka dengan harapan saya akan disapa dan diajak masuk mengikuti acara. Harapan saya dipatahkan haha. Ternyata mereka cuek seakan saya nggak ada disana. Akhirnya saya kembali pulang. Untungnya rumah saya nggak terlalu jauh dari balai desa.

Masih beritikad baik, saya kembali sekitar 2 jam setelah saya pulang dan ternyata acara baru saja dimulai. Dan isi acaranya zonk!

Pertama nggak ada modul tertulis, mereka hanya ceramah didepan. ngomong kesana kesini, seakan hal yang disampaikan udah yang paling bener dan paling bermanfaat. Mungkin bukan terletak pada manfaatnya tetapi sasaran yang salah. Selama acara saya ngantuk dan nggak sanggup menyelesaikan sampai acara benar-benar selesai.

Kedua materinya pengenalan blog. Dan saya sudah menjadi seorang blogger sejak 10 tahun lalu. Disini, sikap hati saya kembali di uji dengan posisi saya diajarin caranya bikin email dan bikin blog. Berasa udah pengen bukain blog saya aja deh -_-

Nggak lama mereka beralih ke materi lain dan masih tanpa modul tertulis. Materi berikutnya tentang membuat website dan situs yang dibuka adalah situs mainstream banget www.w3school.com anak IT mana yang nggak kenal situs ini?
"jadi kalau blog tadi kan cara gampangnya, tapi kalau mau buat web yang CUSTOM kita harus pakai bahasa pemrograman HTML, CSS, JAVASCRIPT"
Saya sih paham apa itu html, css dan kawan-kawannya. Tapi halo, kamu tuh ngomong dimana pakai bahasa plamet begitu?
Lanjut
"kalau kita sudah CODING, kita tinggal HOSTING dan menentukan DOMAIN kita"
honestly saat itu saya posisikan diri sebagai orang yang bener-bener awam dengan IT dan saya akan plonga-plongo dengan istilah tersebut.
Nggak lama mereka melanjutkan
"kalau sudah tinggal akses ke SERVER dan upload file kita ke server"
(dan semua ocehan itu nggak ada praktek, penjelasan apa itu HTML, CSS, Server, Domain, Hosting. Murni ngomong di depan pakai mic)

Nih, kalau saya nggak sekolah IT dan mengikuti acara kayak gini berasa ngomong sama alien hehe. Disana ada 5 anak perwakilan karang taruna termasuk saya yang fokus karena tahu apa yang mereka bicarakan, 4 lainnya makan dan ngobrol hahaha.

Balik ke masalah undangan yang saya terima, UMKM nya disebelah mana? yang mereka sampaikan adalah "nah, nanti kalau sudah punya barang dari UMKM yang bisa dijual bisa dibuatkan web atau blog nya"
Eeeeetttt daaaaah bocaaaah!
Kalau saya jadi pelaku UMKM buat apa capek-capek kelola web atau blog, jual aja [alai


Saya menarik kehidupan saya 2 tahun ke belakang ketika saya masih menjadi mahasiswa. Saya beruntung karena saya mendapatkan beberapa pengajar meskipun mereka bukan dosen saya secara langsung yang mengajarkan bagaimana pemetaan masalah, berproses dengan masyarakat, menentukan akar masalah, mengenali potensi politik, budaya, sosial dan ekonomi, masih banyak lagi sehingga hari ini saya merasa bisa mentertawakan mahasiswa seperti itu. Ah menggemaskan.

Terimakasih bapak-bapak SC lantai 2 yang dulu saya juga agak kesel kalau diajak diskusi masalah latar belakang, akar masalah yang panjang. Saya sadar kalau saya akan ditertawakan masyarakat kalau saat itu saya nggak dibimbing untuk berpikir sampai ke akar-akar masalah :)


Rabu, 09 Januari 2019

Belajar Bersyukur (Pekerjaan)

Berjalan 4 bulan ini, saya bekerja di tempat yang baru. Sebelumnya saya pernah mengajar di sekolah swasta di kota Malang. Sebenarnya bukan masalah pekerjaan yang saya cari, tetapi karena passion saya di dunia pendidikan, saya suka anak-anak dan suka mengajar. Awalnya saya sangat antusias ketika saya sesekali bertemu dengan anak, mengajar, bercanda dengan mereka dan sesekali ngobrol dengan rekan kerja.

2 bulan tidak berjalan dengan baik. Kalang kabut. Berbeda standard dengan mereka yang bekerja hanya karena nyari uang atau yang bekerja karena suka dibidangnya. Beberapa kali gesekan dengan tim pusat sampai saya bilang cukup panas. Bagi mereka yang menitik beratkan pada kreatifitas teacher, tidak selalu sejalan dengan saya yang beranggapan bahwa kompetisi teacher juga harus dipertimbangkan, termasuk perangkat pembelajaran yang up to date.

Bulan ke 3 saya memilih untuk tidak banyak bergantung dengan pusat, baik kurikulum maupun cara mereka mengajar. Saya mulai olah sendiri cara saya mengajar, membuat sendiri pendukung pengajaran dll kemudian saya bagikan hasilnya dengan team Malang. Begitu seterusnya sampai berjalan 4 bulan.

Jalan bulan ke 4 saya mulai merasakan kehidupan yang mulai monoton. Mungkin saya mulai kehilangan yang dinamakan kasih mula-mula. Ditambah banyak jam-jam kosong yang saya mentok kehabisan ide untuk membuat perangkat pembelajaran yang baru dan harus tetap disitu sampai malam hari. Saya sudah mulai merasa ngantuk dan saya sebenernya ingin resign saja dan sepenuhnya ngurusin usaha dan bisnis keluarga. Tapi bagaimana dengan passion? Saya punya passion mengajar, sedangkan bisnis keluarga saya tidak ada yang liniar dengan passion saya.

Saya pun sempat berpikiran keluar pulau (Jambi). Something happen and make me think that I am prefer stay in Jambi. Saya mulai gelisah, Malang atau Jambi? Saya tidak ingin kehilangan keduanya.
Saya sudah sempat melihat beberapa lowongan yang bisa saya apply di Jambi. Tapi sekali lagi saya ingat dengan keluarga dan teman-teman di Malang. Wait, teman? Teman yang mana? saya hampir tidak punya teman yang sangat dekat di Malang. Saya memutuskan mengenal mereka sekedarnya saja. Saya sarankan jangan ditiru cara saya untuk berteman.

Saya bergumul dalam beberapa hari, benarkah saya ini bosan dan posisi seperti ini bukan saya sama sekali. Muncul beberapa ide untuk saya bisa mengurangi jam kerja saya di kantor dan separuh hari saya akan saya gunakan untuk membuat usaha saya sendiri lebih maju. Entah apa yang akan diputuskan berikutnya, yang pasti saya akan tetap membicarakan hal ini. Saya tetap akan meminta untuk mengurangi jam kerja saya di kantor.

Kemudian, saya lihat lagi ketika saudara saya, teman saya dan siapa saja yang saya temui sedang kesulitan mencari pekerjaan. Sedangkan saya sudah memiliki pekerjaan yang sesuai dengan passion saya (meskipun hasilnya tidak banyak).

Saya tidak mengeluh dengan rasa bosan yang saya alami setiap hari. Saya hanya ada di proses belajar bersyukur untuk setiap hal yang Tuhan ijinkan terjadi dikehidupan saya.