Kamis, 29 Maret 2018

Mencapai Mimpi

Tahun kelima saya menjalani kuliah yang seharusnya saya bisa menyelesaikan empat tahun dengan asumsi bahwa pendidikan S1 seharusnya ditempuh selama 4 tahun. Apakah saya ingin kuliah molor? ya nggak lah. siapa pula yang nggak ingin segera lulus dan bebas dari tekanan bantin skripsi?

Ketika saya bertemu dengan teman seangkatan nggak sedikit dari mereka yang bertanya
"kapan lulus Fik?"
"kayak e kamu pinter deh, kok gak lulus-lulus?"
"semangat Fik"
"ternyata S1 gak butuh pinter tok ya Fik"

Entah sindiran, ejekan atau apalah saya menanggapinya dengan sebuah senyuman yang menurut mama saya senyuman saya adalah senyuman yang paling manis.

Ketika saya bertemu dengan adek kelas
"masih di kampus ce?"
"wee senior ku"

Saya pun tidak tahu apa tendensi mereka berkata seperti itu. Bahkan ketika bertemu dengan dosen saya

"Fik, kamu dulu kan asisten dosen terus, harusnya nggak sulit lah Tugas Akhirnya"

Nggak jauh dari kejadian-kejadian itu saya bertemu dengan staff kampus

"Ealah Fik, kok nggak lulus-lulus sih. Eman-eman waktumu"

Dan lain sebagainya, yang kalau saya tulis mungkin 1000 halaman A4 tidak cukup dengan font 12pt, spasi 1,5 times new roman (abaikan).

Dalam batin saya hanya bertanya balik tanpa saya sampaikan secara lisan
"kamu yang lulus 4 tahun atau 3,5 tahun atau yang sudah bekerja, apakah sudah mencapai mimpi?"
eh sebelum itu
"apakah punya mimpi?"

Saya kecewa dan ada kesedihan ketika saya harus mengulan topik tugas akhir saya dari 0, saya harus berjuang kembali dari awal. Bimbingan setiap minggu dan formalitas lainnya yang harus saya jalani lagi. Plus saya harus bayar uang kuliah lagi dan itu beban yang sangat menjengkelkan, kebijakan yang saya rasa cukup tidak masuk akal. Tapi yasudahlah, toh Tuhan mencukupkan semuanya.

Btw, kembali ke sebuah mimpi. Pada usia 13 tahun, saya duduk di kelas 3 SMP (kalau nggak salah). Saat itu saya punya seorang guru matematika yang sangat saya kagumi, namanya Bu Hendriati. Entah sejak kapan saya mengagumi beliau, intinya saya menjadikan dia adalah sosok panutan saya. Sampai saya punya sebuah mimpi karena saya melihat sosok beliau.

Mimpi saya adalah suatu saat saya akan menjadi guru matematika seperti beliau. Itu adalah mimpi dan passion saya sejak saya duduk dibangku SMP, saya memperjuangkan mimpi saya juga sejak saat itu.

Setelah lulus SMA saya mencoba keberuntungan saya untuk daftar di salah satu Universitas Negeri dengan jurusan pendidikan matematika, ternyata tidak lolos. Kemudian saya mendaftar di jurusan pendidikan fisika karena saya pikir tidak terlalu jauh dengan matematika, ternyata juga tidak lolos. Tidak berhenti saya mendaftar di jurusan Matematika Murni, hasilnya sama tidak lolos. Sampai saya juga tidak tahu kenapa saya bisa masuk di Teknik Informatika. Tapi minimal kebanggan saya bisa disebut sebagai anak teknik.

Awalnya saya tidak punya harapan lagi untuk mencapai mimpi saya, rasanya mustahil kok mimpi saya dengan pendidikan saya saat ini. Seorang teknik dan pendidik, latar belakang yang berbeda.
Suatu saat tanpa tendensi apapun, dengan kemampuan sederhana yang saya miliki, saya ingin membuatkan website secara cuma-cuma di SMP saya dulu sekolah. Saya tidak mengejar gaji, semata-mata memang saya ingin memberi. Tidak disangka ternyata saya ditawari untuk menjadi pengajar di sekolah tersebut. Tanpa pikir panjang saya langsung mengiyakan tawaran tersebut, saya tidak peduli gaji, tidak peduli pandangan orang lain. Itu adalah mimpi saya.

Usia saya saat itu 20 tahun dan saya sudah mencapai tujuan saya sebagai seorang guru matematika, saya merasakan bagaimana harus membuat perangkat belajar dan lain-lain. Btw, saya juga manusia biasa tidak semua hal bisa saya lakukan dalam waktu yang bersamaan.

Saya sudah mencapai mimpi saya sebelum studi saya selesai. How About you?
Kita punya Tuhan yang sama, kalau Tuhan memampukan saya untuk mencapai mimpi saya, Tuhan yang sama juga bisa melakukannya dalam hidupmu.
Langkah pertama, milikilah sebuah mimpi.

Jumat, 23 Maret 2018

Pilih Kasih?

Menurut studi yang pernah saya baca seobjektif-objektifnya manusia pasti mempunyai sisi subjektif. Meskipun orang tersebut sudah berusaha sedemikian rupa untuk bersikap netral dan adil, pasti ada satu ketika manusia melakukan apa yang dikehendaki hatinya.

Beberapa waktu lalu saya "diprotes" oleh beberapa murid saya yang menganggap bahwa saya bersikap tidak adil dengan alasan lebih dekat dengan si A dan si B sedangkan dengan si C tidak dekat. Sebenarnya begini, saya sebagai pendidik tidak ada niat atau maksud untuk bersikap tidak adil, tetapi kembali lagi tidak semua anak bisa diperlakukan sama.

Contohnya, si A bisa diperlakukan dengan kata-kata yang halus dan dia nurut, berbeda dengan si B kalau diperlakukan dengan kata-kata yang halus "ngelunjak". Kasus lain misalnya, si X meskipun akrab dan sering pergi diluar jam tetapi ketika di sekolah tetap bisa bersikap sebagai murid, tapi si Y belum tentu, ketika merasa dekat kayaknya dimanapun dia berada tidak bisa memposisikan diri.

Ada pula pertimbangan-pertimbangan lain yang membuat saya harus "jaga jarak" dengan anak-anak tertentu, yang pertama pastinya berkaitan dengan attitude atau sikap. Kalau sang anak "kurang sopan" dalam menjalin komunikasi dan keakaban pasti saya akan jaga jarak. Kalau si anak akrab layaknya ibu dan anak, bercanda sesuai dengan porsi dan mengasihi dengan tulus pasti hati saya akan terasa dan mampu membedakan mana anak-anak yang tulus dan mana anak-anak yang "ada maunya".
Overall, saya tetap mengasihi mereka dengan porsi yang dibutuhkan.

Diluar faktor internal kedekatan saya dengan anak, ada pula faktor eksternal. Ada banyak anak yang tahu saya, tetapi sangat sedikit anak yang mendekat. Anak-anak yang hanya bertemu saya ketika pagi dan dikelas saya pasti tingkat kedekatannya akan berbeda dengan anak yang pagi, istirahat pertama, istirahat kedua sampai pulang sekolah masih datang ke meja dan bergurau.

Ada beberapa anak yang memang dia datang, bukan saya yang memanggil, bukan saya yang mengajak dia bercanda diwaktu istirahat, tetapi karena dia yang punya inisiatif datang dan menyapa.

Komunikasi di luar pun juga mempengaruhi tingkat kedekatan saya dengan anak. Saya tidak pernah merahasiakan nomor hape dari anak-anak saya. Setiap anak yang meminta nomor hape pasti saya berikan. Ada anak-anak yang komunikasi setiap ada kesempatan dan ada anak-anak yang komunikasi kalau memang ada butuhnya aja, misalnya tanya PR, tanya ulangan dan tanya besok pulang jam berapa atau ada pelajaran nggak?

Dari keseluruhan anak yang saya kenal hanya ada 2 anak yang mejalin komunikasi intens dengan saya, ada nggak ada keperluan dia selalu sapa. Otomatis saya akan sangat dekat dengan kedua anak ini. Bahasan kami bisa tentang programming, olimpiade, kangen kangen an, pamer makanan dll. Ya hanya 2 anak ini yang mau membuka diri.

Disisi lain, ada anak-anak yang menganggap saya "pilih kasih", saya tidak membenarkan diri saya atas semua sikap dan tindakan saya, bagaimanapun juga saya manusia yang mungkin masih bisa melakukan kesalahan. Tetapi karena keterbatasan saya menjangkau semua anak dan keterbatasan saya sebagai manusia saya tidak bisa melayani semua anak dengan sama rata.
Lagi pula, anak-anak yang dekat dengan saya memang anak-anak yang mau mendekat ke saya. Sedangkan yang lain hanya memandang saya dari kejauhan dan ketika saya dekat sama anak lain menilai saya tidak adil, kadang lucu juga.
Ya saya tidak bisa menghentikan apapun penilaian orang atau anak ke saya, prinsipnya apapun penilaian mereka terhadap saya, saya sudah melakukan yang terbaik dan saya tetap mengasihi mereka.

Kemudian saya merefleksikan apa yang terjadi dengan lebih dalam tentang relasi kita dengan Tuhan, ada banyak yang percaya Tuhan tetapi tidak mendekat kepada Tuhan. Datang kepada Tuhan kalau ada butuhnya saja, apakah salah kalau pada akhirnya Tuhan memberikan dan menunjukan mujizat-mujizatnya kepada anak-anakNya yang setiap saat datang dan menyapa Nya?
Apakah Tuhan tidak adil?
Tapi tetap Tuhan tidak terbatas, yang perlu kita lakukan hanya mau mendekat dan menyapa, ada atau tidak ada keperluan sekalipun.

Manusia saja begitu, apalagi Tuhan?

Yang saya mau hanya, sini loh mendekat kalau memang mau dekat. Jangan hanya memandang dari kejauhan kemudian menilai orang lain "tidak adil".

God Bless :)