Tahun kelima saya menjalani kuliah yang seharusnya saya bisa menyelesaikan empat tahun dengan asumsi bahwa pendidikan S1 seharusnya ditempuh selama 4 tahun. Apakah saya ingin kuliah molor? ya nggak lah. siapa pula yang nggak ingin segera lulus dan bebas dari tekanan bantin skripsi?
Ketika saya bertemu dengan teman seangkatan nggak sedikit dari mereka yang bertanya
"kapan lulus Fik?"
"kayak e kamu pinter deh, kok gak lulus-lulus?"
"semangat Fik"
"ternyata S1 gak butuh pinter tok ya Fik"
Entah sindiran, ejekan atau apalah saya menanggapinya dengan sebuah senyuman yang menurut mama saya senyuman saya adalah senyuman yang paling manis.
Ketika saya bertemu dengan adek kelas
"masih di kampus ce?"
"wee senior ku"
Saya pun tidak tahu apa tendensi mereka berkata seperti itu. Bahkan ketika bertemu dengan dosen saya
"Fik, kamu dulu kan asisten dosen terus, harusnya nggak sulit lah Tugas Akhirnya"
Nggak jauh dari kejadian-kejadian itu saya bertemu dengan staff kampus
"Ealah Fik, kok nggak lulus-lulus sih. Eman-eman waktumu"
Dan lain sebagainya, yang kalau saya tulis mungkin 1000 halaman A4 tidak cukup dengan font 12pt, spasi 1,5 times new roman (abaikan).
Dalam batin saya hanya bertanya balik tanpa saya sampaikan secara lisan
"kamu yang lulus 4 tahun atau 3,5 tahun atau yang sudah bekerja, apakah sudah mencapai mimpi?"
eh sebelum itu
"apakah punya mimpi?"
Saya kecewa dan ada kesedihan ketika saya harus mengulan topik tugas akhir saya dari 0, saya harus berjuang kembali dari awal. Bimbingan setiap minggu dan formalitas lainnya yang harus saya jalani lagi. Plus saya harus bayar uang kuliah lagi dan itu beban yang sangat menjengkelkan, kebijakan yang saya rasa cukup tidak masuk akal. Tapi yasudahlah, toh Tuhan mencukupkan semuanya.
Btw, kembali ke sebuah mimpi. Pada usia 13 tahun, saya duduk di kelas 3 SMP (kalau nggak salah). Saat itu saya punya seorang guru matematika yang sangat saya kagumi, namanya Bu Hendriati. Entah sejak kapan saya mengagumi beliau, intinya saya menjadikan dia adalah sosok panutan saya. Sampai saya punya sebuah mimpi karena saya melihat sosok beliau.
Mimpi saya adalah suatu saat saya akan menjadi guru matematika seperti beliau. Itu adalah mimpi dan passion saya sejak saya duduk dibangku SMP, saya memperjuangkan mimpi saya juga sejak saat itu.
Setelah lulus SMA saya mencoba keberuntungan saya untuk daftar di salah satu Universitas Negeri dengan jurusan pendidikan matematika, ternyata tidak lolos. Kemudian saya mendaftar di jurusan pendidikan fisika karena saya pikir tidak terlalu jauh dengan matematika, ternyata juga tidak lolos. Tidak berhenti saya mendaftar di jurusan Matematika Murni, hasilnya sama tidak lolos. Sampai saya juga tidak tahu kenapa saya bisa masuk di Teknik Informatika. Tapi minimal kebanggan saya bisa disebut sebagai anak teknik.
Awalnya saya tidak punya harapan lagi untuk mencapai mimpi saya, rasanya mustahil kok mimpi saya dengan pendidikan saya saat ini. Seorang teknik dan pendidik, latar belakang yang berbeda.
Suatu saat tanpa tendensi apapun, dengan kemampuan sederhana yang saya miliki, saya ingin membuatkan website secara cuma-cuma di SMP saya dulu sekolah. Saya tidak mengejar gaji, semata-mata memang saya ingin memberi. Tidak disangka ternyata saya ditawari untuk menjadi pengajar di sekolah tersebut. Tanpa pikir panjang saya langsung mengiyakan tawaran tersebut, saya tidak peduli gaji, tidak peduli pandangan orang lain. Itu adalah mimpi saya.
Usia saya saat itu 20 tahun dan saya sudah mencapai tujuan saya sebagai seorang guru matematika, saya merasakan bagaimana harus membuat perangkat belajar dan lain-lain. Btw, saya juga manusia biasa tidak semua hal bisa saya lakukan dalam waktu yang bersamaan.
Saya sudah mencapai mimpi saya sebelum studi saya selesai. How About you?
Kita punya Tuhan yang sama, kalau Tuhan memampukan saya untuk mencapai mimpi saya, Tuhan yang sama juga bisa melakukannya dalam hidupmu.
Langkah pertama, milikilah sebuah mimpi.