Saya tidak pernah bertemu dengan dia sebelumnya, saya tidak menjadi guru pengajarnya. Kami dipertemukan melalui ekskul yang saya ampu di sekolah tempat saya mengajar dan entah kenapa anak ini tertarik mengikuti ekskul saya. Padahal anak ini tergolong anak yang kurang bisa mengikuti ekskul saya. Ekskul saya ini adalah ekskul programming yang membutuhkan ketelitian lebih dibandingkan dengan ekskul lainnya.
Setiap saya melihat dia saya tertarik untuk mengenal anak ini lebih lagi. Dia adalah salah satu anak yang sangat sering menulis pelanggaran di sekolahnya. Setiap dia menulis pelanggaran, dia melihat ke arah saya semacam mencari perhatian saya. Iseng saya panggil anak tersebut ketika menulis pelanggaran "kamu kenapa menulis pelanggaran?" ada saja alasan yang diberikan mulai lupa kalau ada PR sampai ragu-ragu mengerjakan PR karena tidak paham materi yang di ajarkan.
Keesokan harinya dia menulis pelanggaran lagi dan saya memanggil dia lagi "sekarang melanggar apa lagi nak?" alasannya berbeda lagi, kali ini dia bilang salah melihat jadwal sehingga tidak membawa buku yang seharusnya.
Lagi, dia melanggar peraturan. Kalau saya lihat pada catatan, dia adalah anak yang paling banyak melakukan pelanggaran dan saya kembali ingatkan "nak, kenapa menulis lagi?" katanya lupa bawa buku. Kalau biasanya saya hanya menegur dia kali ini saya membuat kesepakatan dengan anak ini. "boleh kah kamu berjanji kepada Bu Fika?"
"janji apa?"
"janji kepada Bu Fika, besok tidak menulis buku tata tertib"
"iya Bu"
Keesokan harinya saya menunggu anak tersebut masuk kantor menulis buku pelanggaran dan ternyata dia tidak menulis. Wah anak ini hari ini tidak menulis buku pelanggaran, tapi ini masih jam pelajaran ke 5 dan 6. Masih ada jam pelajaran 7 dan 8. Siapa tahu nanti jam ke 7 dan 8 dia melanggar. Dia masih belum lulus janji karena jam sekolah belum berakhir.
Sampai bel pulang sekolah berbunyi ternyata anak ini menepati janjinya, minimal kepada saya. Saya berjalan pulang dan berharap masih bisa bertemu anak ini.
Ternyata dia masih bermain sepak bola bersama anak-anak yang lain dan dia melihat ke arah saya. Mungkin yang ada dipikirannya saat itu "Tuh kan saya nggak melanggar hari ini". Saya panggil dia lagi ditengah-tengah dia bermain sepak bola.
"Nak, besok janji sama Bu Fika lagi tidak akan menulis buku pelanggaran"
"Iya Buk"
Saya menunggu dia lagi untuk masuk kantor dan sampai pulang sekolah dia tidak masuk kantor untuk menulis buku pelanggaran. Artinya dia menepati janjinya yang kedua.
Anak ini bisa disayangi, pikir saya kala itu. Saya melakukan janji yang ketiga, keempat sampai dia tidak melakukan pelanggaran sama sekali selama seminggu penuh. Suatu siang saya pulang sekolah dan bertemu anak ini, saya memanggil dia lagi dan akan mengatakan hal yang sama
"saya tahu Bu, Bu Fika mau bilang besok saya nggak boleh nulis tatib"
"Betuuuul. Deal ya"
"Iya Bu"
Benar, akhirnya seminggu lebih dia bertahan tidak menulis buku pelanggaran, saya berbagi kepada sesama guru di kantor. Saya rasa sudah tidak perlu lagi mengingatkan anak ini.
Dugaan saya salah, beberapa hari kemudian dia melanggar lagi. Ketika dia melanggar, dia senyum-senyum kepada saya, mungkin dia tahu kalau saya akan memanggilnya kembali.
"melanggar apa lagi hari ini?"
"nggak bawa LKS"
"kenapa nggak bawa LKS?"
"lupa Bu"
"kalau hidung nggak nempel juga bakalan lupa?"
dia hanya senyum-senyum
Menurut cerita guru-guru yang lain, anak ini tergolong anak yang perlu ditolong dalam financial. Saya bukan orang berlebih, tapi saya berkecukupan. Jika untuk menolong anak ini, saya masih bisa karena nominal yang saya keluarkan tidak sampai 100rb per bulan.
Anak ini, belum melakukan pembayaran sampai bulan yang ditentukan untuk bisa mengikuti UTS. Saya memanggil dia secara pribadi
"nak, km tau kalau belum bayar SPP?"
"iya Bu"
"kenapa?"
(dia tidak bisa menjawab apapun)
"kamu tau kalau km sudah dapat beasiswa?"
"tau Bu"
"jadi kamu nggak membayar penuh kan? kamu hanya membayar sekian loh, ini karena guru-guru menilai kamu adalah anak yang hebat"
(dia masih diam dan tidak menjawab apapun)
"Bu Fika akan menolong kamu secara pribadi, Bu Fika yang akan bayar SPP kamu bulan ini tapi kamu harus janji menjadi seorang anak yang baik dan berprestasi"
(dia kembali diam tapi kali ini dia tidak menunduk tetapi melihat ke arah saya)
"Kamu bisa menjadi anak yang baik?"
"bisa Bu"
"Target nilai kamu berapa?"
"90 di matematika"
Saya berpikir, dia bilang seperti itu mungkin karena saya adalah guru matematika meskipun saya tidak mengajar di kelasnya. Dikelasnya diampu oleh guru lain sehingga saya tidak bisa melihat langsung kemampuan dia di kelas.
"wow, apakah itu tidak terlalu tinggi?"
"nggak Bu, saya yakin bisa Bu"
"Okee, ada lagi yang ingin disampaikan?"
"Ya, saya berusaha tidak melanggar lagi biar nggak bulis buku tatib"
"Okee, deal ya. Besok bawa kartu SPP"
Kalau dipikir-pikir, sebenarnya saya juga mempunyai saudara yang sama-sama sekolah di sekolah ini dan sama membutuhkannya seperti anak ini dengan kondisi yang sama dengan anak ini, belum melunasi SPP sampai bulan yang ditentukan. Tetapi saya lebih memilih menolong anak ini. Keyakinan saya, anak ini bisa dikasihi dan disayangi.
"Nanti setelah istirahat ke Bu Fika bawa kartu SPP" Ucapan saya kepada dia ketika istirahat pertama dan benar dia menghadap saya setelah dia makan dan istirahat.
"Mana kartu SPP nya?"
(dia memberikan kepada saya, sambil melihat ke arah saya)
"Nak, Bu Fika nggak rela kalau anak sebaik kamu tidak bisa mengikuti UTS hanya karena belum membayar SPP. Lihat, Bu Fika ambil uang dari dompet Bu Fika sendiri untuk kamu. Bu Fika mau kamu menjadi anak yang baik dan berprestasi"
Saya menuliskan namanya pada selembar kwitansi dan dia memandangi saya. Saat itu saya tidak bisa menebak apa yang ada dipikiran dia.
Flashback beberapa tahun yang lalu, saya diperlakukan sama oleh salah satu Dosen saya dikampus yang memberikan uang pribadinya supaya saya bisa mengurus KRS. Saya pernah ada di posisi dia dan saya mengingat detil-detilnya hingga saat ini. Saya ingat betul saat itu saya baru memasuki Semester 2.
"Makasi ya Bu" Sambil tersenyum tulus.
"Jadi anak yang baik yaa"
"Iyaa"
Semenjak kejadian itu, dia sama sekali tidak menulis buku pelanggaran dan tersenyum ketika bertemu dengan saya. Mungkin dia memang murah senyum hehehe.
Waktu UTS tiba dan saya bahagia ketika bisa melihat anak ini bisa duduk di tempat UTS nya. Hati saya teriris ketika saya juga melihat saudara saya masih mempunyai tanggungan yang sama tetapi saya memilih menolong anak lain. This is my choice. Saya memilih mengasihi dan menyayangi anak yang bisa dikasihi dan disayangi.
Kebetulan, hari pertama adalah matematika dan saya ingat betul janji dia dengan target nilai 90. Selesai UTS saya mengambil lembar soal dan lembar jawabannya. Saya tahu saya bukan guru pengampunya, tapi minimal saya bisa menjawab soal-soal yang dia kerjakan dan bisa memperkirakan berapa nilai yang dia dapatkan. Kurang sedikit lagi dia mencapai target. Dia memperoleh nilai 88 dan saya sampaikan itu ke anaknya. Rupanya anak ini menjadi takut dengan targetnya sendiri.
"Gapapa, Bu Fika yakin kamu sebenarnya bisa hanya kamu mungkin kurang teliti"
(dia diam saja dan menunduk)
"kenapa tidak bisa sempurna nak?"
"Kurang teliti Bu, maaf ya Bu saya nggak dapat nilai 90"
Ya ampuuuun dia bukan anak saya dan saya nggak mengajar dia, tapi dia punya rasa tanggung jawab. Minimal dia minta maaf karena targetnya yang hanya kurang 2 point saja.
Otomatis saya menjadi semakin respect kepada anak ini.
Semenjak kejadian itu guru-guru menyebut anak ini sebagai "anaknya Bu Fika"